Kamis, 28 Mei 2015

Puisi Singkat Arifin Putra Solo



Berikut ini adalah kumpulan Puisi Singkat karya saya sendiri guys. Yang hobi baca puisi silahkan disimak. Cekibrottt...
 



Sebenarnya ada sebuah kehidupan di antara celah-celah batas ruang dan waktu.
Ia nyata dalam pikiran kita.
Namun tak tampak oleh indera kita.
Ia selalu menemani kita.
Ya, aku menyebutnya dengan nama “ketiadaan”.
***

Pesona Mahameru menyapu seluruh hamparan sudut mata.
Horison yang terbentang membelah cakrawala, semakin menambah pesona sang Arga.
Tak sedetik pun mata ini terpejam oleh keindahan-Nya.
***

Setiap air mata yang kita teteskan adalah embun.
Setiap nafas yang kita hembuskan adalah angin.
Setiap sudut di hati kita adalah ruang.
Dan setiap detak jantung kita adalah waktu.
*** 

Mimpi membawaku melintasi dimensi antara hidup dan mati.
Aku tak tahu jika khayalanku telah melemparku begitu jauh.
Hingga terperosok ke dalam alam bawah sadar.
Aku tak tahu sampai di mana petualanganku akan usai.
***

Khayalanku tersapu jauh dan terhempas ke dalam memori-memori yang telah menjadi sampah dalam otakku.
Aku tak ingin jika khayalan baruku langsung terhempas bersama sampah-sampah yang lain.
Karena aku tak mau jadi pemimpi.
***

Hamparan Savana menghijau menghiasi dataran Taman Eiden.
Ya, aku lebih suka menyebutnya dengan nama Taman Eiden untuk sebuah keindahan yang sungguh nyata.
Jika kau melihatnya, maka kau tak akan bisa berkata apa-apa.
***

Aku bukanlah seorang Kahlil Gibran.
Namun seakan-akan aku merasakan kehadirannya dalam tubuhku.
Darahnya mengalir bersama darahku, jantungnya berdetak bersama jantungku, dan hatinya menyatu dengan khayalanku.
***

Sebuah wajah telah menyibak kabut tebal di antara celah-celah sejuknya udara pagi.
Oh, bianglala terlihat sangat mempesona, terbias dari wajah itu.
Aku baru tahu jika wajah itu adalah milikmu.
***

Semalam bintang meredup, wajah langit tak lagi cerah.
Sang bulan termenung kesepian.
Hanya berharap dan menatap kosong pada langit.
Ketika satu bintang terlihat bersinar, sang bulan mulai tersenyum.
***

Di dalam sebuah kehampaan, ada sesuatu yang dapat mengisi sebuah kekosongan.
Hingga kehampaan dapat kembali menjadi bermakna, menjadi berarti, dan menjadi berharga.
Sesuatu itu adalah “kesunyian”.
***

Malam yang bengis terus mengiris-iris.
Oh, hati yang miris karena isak tangis yang tak mampu lagi ditepis.
Jiwa yang terkikis, selalu mengais tumpukan harapan yang terlukis, di antara rintikan gerimis.
*** 

Kesepian telah menikam aku dari belakang.
Apakah kesepian adalah musuh yang paling kuat di antara ksatria-ksatria yang lain???
Beribu-ribu busur panahnya telah merobohkan aku.
Aku rela jika harus mati sekarang.
***

Sebuah keranda hijau terbujur panjang, berhias bunga...
Setiap binar mata berkilau, seperti cermin...
Sebuah wajah yang tak asing bagiku berada dalam keranda itu...
Ya,..... itu adalah aku...
***  

Lubang ini sengaja aku buat.
Untuk mengubur hatiku yang telah hancur berserakan di atas tanah yang tandus.
Takkan pernah kau lihat sebuah batu nisan di atasnya.
Karena aku tak ingin lagi mengenangnya.
***

Kehidupan tidak selunak air yang bisa kita injak dengan mudahnya.
Tapi, kehidupan itu sekeras hujan badai di tengah lautan yang bisa menenggelamkan kapal kita sampai ke dasar laut...
*** 

Ketidaktahuan selalu menyeretku memasuki dunia antah berantah.
Sebenarnya aku ingin pergi dari dunia itu.
Karena aku sudah muak dijejali berbagai pertanyaan yang bisa membunuhku perlahan-lahan... tapi pasti...
***

Setiap senyum yang terbias di antara tetesan embun adalah langkah untuk menapak setiap jejak pada celah-celah pagi.
Dan indahnya senyum itu akan menjelma menjadi sebuah pelangi.
***

Waktu selalu mengajak kita merenung dan berpikir dalam sebuah “monolog”.
Waktu juga yang mengantar kita memasuki dimensi pada sebuah “prolog”.
Tapi ruang dan waktu selalu memaksa kita berjalan dalam sebuah “dialog”.
***

Kita tak akan pernah mau mengerti...
Untuk apa kita berdiri...
***

Hidup itu seperti air yang mengalir.
Manusia hanyalah sebuah daun kering yang terjatuh dan hanyut bersama aliran air itu.
***

Kesunyian tak selamanya membosankan.
Kesendirian tak selamanya menjenuhkan.
Kesepian tak selamanya mencekam.
Kadang, mereka bisa menjadi kawan sejati pada saat kita membutuhkan.
***

Pucuk-pucuk Akasia tampak kemilau karena basah seiring dengan tetesan hujan yang mendinginkan tiap sudut mata memandang.
Sementara rembulan tetap setia menunggu, sampai tetesan air itu berubah menjadi embun.
***

Malam ini bukan lagi sebuah malam.
Pagi juga belum menjadi pagi.
Karena malam ini jam tepat menunjukkan pukul duabelas.
Mungkin pesan ini tak akan terbalas detik ini.
Karena aku tahu diri...
Setidaknya sampai pagi menari.
***

Katakan “GILA” kepada mereka yang bilang kalau malam ini tidaklah dingin.
Tulangku hampir membeku seperti diselimuti bunga es.
Gggggrrrrrrr.....apakah Puncak Everest telah menjelma menjadi dataran di kotaku???
***

Kadang kemauan manusia dapat mengalahkan batas kemampuannya sendiri.
Ego dan emosi hanyalah sebuah ombak yang harus ia taklukkan.
Kadang ia surut dan kadang ia pasang.
***

Awan jingga merona, tersapu angin seperti tumpahan warna di atas kanvas.
Di sekitarnya, kumpulan awan bulu domba seperti kapas yang terbang terbawa angin.
Ah....... tak lelah mata ini untuk memandangnya.
***

Rabu, 25 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "ULTAH TERAKHIR JONI"

ULTAH TERAKHIR JONI


Mungkin Joni bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami nasib seperti yang dialaminya. Sejak umur 13 tahun atau tepatnya 5 tahun yang lalu, seorang dokter telah memvonisnya terserang penyakit jantung. Penderitaannya belum berakhir sampai di situ, dokter juga memvonisnya terserang penyakit paru-paru. Biasanya kedua penyakit itu sering diderita orang dewasa, bukanlah anak remaja seperti dia. Kedengarannya memang tidak wajar, tetapi itulah yang dia alami saat ini. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi Joni. Kedua orang tuanya hanya bisa pasrah kepada Tuhan atas penyakit yang menimpa anak kesayangannya.

Padahal, kakak kandung Joni tidak pernah menderita penyakit yang sedemikian hebatnya ini. Hanya dia saja yang mengalami penyakit separah ini. Penyakit yang hampir pernah membuatnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup ini. Daripada terus-terusan hidup menderita seperti ini, lebih baik mengakhiri hidup saja. Tetapi, keputusan itu tidak jadi diambilnya, karena dia berpikir bahwa dia bukanlah seorang laki-laki yang pasrah begitu saja kepada nasib. Lebih baik mati dalam pelukan Tuhan, daripada mati konyol minum racun serangga atau mati gantung diri. Itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Joni.

“Tidak, aku harus tetap hidup menjalani kehidupanku seperti anak remaja lainnya, walaupun kelihatannya sangat berat bagiku. Aku yakin, Tuhan punya jalan lain. Ini berarti, Tuhan masih menyayangiku. Kalau tidak, mungkin aku sudah tidak bisa menghirup udara di dunia ini sejak aku lahir”, kata Joni meyakinkan hatinya pada saat ia ingin bertindak bodoh.
*****
            Mentari pagi telah menampakkan wajahnya yang berseri-seri, seperti wajah seseorang yang tidak asing lagi di dalam kehidupannya, wajah yang selalu mengisi hari-harinya di sekolah, wajah yang sejak dulu selalu dia simpan dalam lubuk hati yang terdalam. Ya, wajah itu adalah wajah Diva. Seorang wanita yang selama ini telah menjadi kekasihnya selama dia duduk di bangku SMA sampai dia duduk di bangku kelas III seperti sekarang ini.

            Walaupun Diva telah mengetahui penyakit yang diderita Joni, tetapi Diva tidak begitu saja mencampakkannya. Layaknya seseorang yang mengidap penyakit aids, lantas dikucilkan oleh masyarakat. Tidak, Diva bukanlah sosok wanita seperti itu. Lagipula Joni juga tidak mengidap penyakit aids. Yang dia lakukan adalah terus dan terus memberikan semangat kepada Joni agar selalu bangkit dan sembuh melawan penyakitnya. Karena sifat itulah yang membuat Joni semakin sayang pada Diva.

            “Aku yakin Jon, kamu pasti bisa sembuh. Asalkan kamu mau bangkit dan berkeinginan kuat untuk melawannya”, kata Diva yang selalu ia ucapkan kepada Joni. Dan kata-kata itu selalu terngiang dalam ingatannya dan tak mungkin hilang tersapu oleh waktu.
*****
Pagi itu Joni telah bersiap-siap untuk berangkat menuju sekolah kesayangannya. Sebenarnya bukanlah sekolah itu yang membuatnya sayang kepadanya. Tetapi, cewek yang telah memikat hatinyalah yang membuat dia menyayangi sekolahnya itu.

Dengan menaiki sepeda motor pemberian ayahnya, Joni memulai harinya di sekolah. Sengaja sepeda motor itu dibelikan oleh ayahnya agar Joni cepat sembuh. Sebenarnya tak pernah sedikitpun terbesit olehnya untuk memiliki sebuah sepeda motor. Tetapi, karena ayahnya telah membelikan untuknya, dia pun tidak mau menolaknya. Dan dia pun tidak pernah berpikir macam-macam atas kebaikan ayahnya. Lagipula, jarak antara rumah Joni dan sekolahnya terbilang cukup jauh. Maka kehadiran sepeda motor itupun menjadi sangat berarti baginya. Selain itu, dia juga lebih leluasa untuk mengajak Diva pergi hanya sekedar untuk berjalan-jalan ataupun pergi ke rumah temannya dengan sepeda motor itu.

Sebelum dia berangkat menuju ke sekolah, tak lupa dia melakukan tugas rutinnya, yaitu menjemput Diva yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah sampai, Diva pun sudah menanti di depan pintu. Setelah itu, kedua insan manusia itu langsung berangkat menuju ke sekolah.

“Kamu tahu gak Div? Besok aku mau merayakan ultahku di rumah. Kamu harus datang lho! Hukumnya wajib, he...he... Aku juga sudah bikin undangan buat teman-teman yang lain kok”, kata Joni dalam perjalanan.
“Iya... ya, besok kan hari ultahmu. Besok aku pasti datang. Aku mau bikin surprise buat kamu. Tunggu aja besok”, kata Diva sambil tersenyum.
“Aku juga mau ngasih surprise ke kamu. Bahkan nggak bakalan kamu lupain deh seumur hidup”, sahut Joni.
“Wah kayaknya seru banget tuh. Emangnya kamu mau ngasih aku surprise apaan sih? Jadi penasaran nih”, tanya Diva.
“Kalo aku ngasih tahu sekarang, namanya bukan surprise dong. Pokoknya, tunggu aja besok”, kata Joni meyakinkan.
“Iya deh, beneran ya”, kata Diva.
Setelah beberapa menit, mereka sampai ke sekolah dan langsung memulai kegiatan belajarnya.
*****
“Tet...tet....tet...”. Bel sekolah telah berbunyi dan jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah 2 siang. Itu artinya, jam pelajaran telah habis. Joni segera keluar dari kelas dan langsung menghampiri Diva di kelas sebelahnya. Mereka langsung menuju tempat di mana motor Joni diparkir. Kemudian mereka langsung pulang ke rumah.
“Mampir dulu Jon, minum-minum dulu. Kelihatannya kamu haus banget”, ajak Diva untuk sekedar mampir ke rumahnya.
“Ah, gak usah. Aku belum haus kok. Aku langsung pulang aja ya. Daaaah.....”, kata Joni sambil tancap gas.

Sesampainya di tengah jalan, ada sesuatu yang aneh yang dirasakan dalam tubuh Joni. Sepertinya rasa itu tak asing lagi baginya. Rasa yang selalu muncul setiap saat tanpa mengenal waktu. Tak salah lagi, penyakit jantung Joni kambuh lagi. Tak urung Joni pun langsung kehilangan keseimbangan saat menaiki sepeda motornya. Dan akhirnya, dia pun menabrak pohon besar di tepi jalan. Sehingga dia langsung jatuh tersungkur.

Beberapa orang yang melihatnya langsung segera membawanya ke rumah sakit. Tak berapa lama pun, keluarga Joni langsung mendengar kabar tentang kecelakaan anaknya melalui seseorang yang mendatangi rumahnya. Orang itu mengetahui alamat rumah Joni dari Kartu Pelajar yang ada dalam tasnya. Kecelakaan itu terbilang cukup parah, Joni mengalami pendarahan di kepalanya akibat terbentur pohon. Betapa kaget kedua orang tua dan kakaknya ketika melihat Joni terbaring di ruang ICU. Diva yang juga mendengar kabar ini langsung menyusulnya ke rumah sakit bersama teman-temannya.
*****
Malam semakin larut. Jam menunjukkan pukul 12 kurang 15 menit. Suasana rumah sakit semakin sunyi. Diva dan teman-temannya sudah lebih dulu pulang ke rumah. Hanya ada Bapak dan Ibunya Joni yang menemaninya terbaring di atas kasur ruang ICU. Tangan Joni terlihat bergerak-gerak, dan tak berapa lama terdengar suara Joni memanggil-manggil ayah dan ibunya.

Bapak... Ibuu.... Bapak.... Ibu..... Joni kenapa Bu?”, suara Joni mengagetkan ayah dan ibunya.
Dengan cepat Ibu dan Ayah Joni langsung mendekatinya dan menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya. Joni pun hanya bisa terbaring lemah sambil mendengar cerita dari ibunya. Setelah ibunya selesai berbicara, terlihat Joni seperti ingin berkata sesuatu pada ibunya.

            “ Bu, Joni mau ngomong sama Ibu”, Joni menghela napas.
            “Di acara ultah Joni besok, Joni pengen semua anggota keluarga kita, dan semua teman Joni berkumpul di rumah kita Bu”, kata Joni.
            “Tenang Nak, besok seluruh keluarga akan Ibu undang Nak, termasuk tetangga-tetangga kita juga. Asalkan dokter sudah bisa mengijinkan Joni untuk pulang ke rumah besok. Atau paling tidak, dokter membolehkan untuk dirawat jalan di rumah”, kata Ibu.
            “Terima kasih Bu, Bapak, dan juga Kakak yang sudah merawat Joni sampai sekarang ini”, kata Joni.

     Seketika itu Joni menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kali ini hembusan napasnya terlihat sangat beda. Hembusan napas itu begitu pelan dan damai. Namun, siapa sangka jika itu adalah hembusan napas terakhir yang keluar dari hidungnya. Setelah itu tak ada lagi suara napas yang keluar dari hidung Joni.

     Ya, kali ini Joni benar-benar menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya. Joni telah dijemput oleh malaikat untuk memenuhi panggilan Tuhan. Jam tepat menunjukkan pukul 12 malam. Ini berarti hari ulang tahun sekaligus hari kematian Joni. Seketika itu juga, suara tangis orang tua Joni pecah memenuhi seluruh ruangan rumah sakit.
*****
       Jenazah Joni telah tiba di rumah. Semua keluarga, kerabat, tetangga dan teman-teman Joni telah berkumpul di rumahnya. Tepat, seperti permintaan terakhir Joni sebelum meninggal. Mereka sangat terpukul mendengar berita kematian Joni. Apalagi Diva yang terlihat pingsan setelah melihat jenazah Joni terbaring kaku dibalut kain kafan. 

     Beberapa teman Joni ingin melihat wajah Joni untuk yang terakhir kalinya. Tepat di samping jenazah Joni, terdapat kue ulang tahun yang sangat besar dan dihiasi oleh lilin yang  membentuk angka 18 dengan api kecil di atasnya. Ya, 18 tahun adalah usia yang sudah ditempuh oleh Joni dalam mengarungi pahit dan manisnya hidup di dunia ini. Di usia ke-18 tahun pula ia harus mengakhiri cerita hidupnya. Mungkin inilah surprise yang akan diberikannya kepada Diva. Sebuah kejutan yang tak akan pernah dilupakan Diva seumur hidupnya. Sampai akhir hayatnya…
 ***********

Penulis: Arifin Putra Solo

* Cerita ini diangkat dari kisah nyata seorang sahabat. Cerita ini pernah dikirim ke salah satu koran ternama di Kota Solo. Pada hari minggu, cerita ini pun diterbitkan di koran tersebut. Namun sayangnya, nama tokohnya diganti dan latar ceritanya sedikit dirubah. Dan yang lebih mengejutkan lagi nama penulisnya juga diganti dengan nama orang lain. Sejak saat itulah Penulis tidak mau lagi mengirim ceritanya ke koran tersebut. Karena hasil karyanya telah dijiplak oleh redaksi.