Rabu, 25 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "ULTAH TERAKHIR JONI"

ULTAH TERAKHIR JONI


Mungkin Joni bukanlah satu-satunya orang di dunia ini yang mengalami nasib seperti yang dialaminya. Sejak umur 13 tahun atau tepatnya 5 tahun yang lalu, seorang dokter telah memvonisnya terserang penyakit jantung. Penderitaannya belum berakhir sampai di situ, dokter juga memvonisnya terserang penyakit paru-paru. Biasanya kedua penyakit itu sering diderita orang dewasa, bukanlah anak remaja seperti dia. Kedengarannya memang tidak wajar, tetapi itulah yang dia alami saat ini. Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Mungkin itulah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan kondisi Joni. Kedua orang tuanya hanya bisa pasrah kepada Tuhan atas penyakit yang menimpa anak kesayangannya.

Padahal, kakak kandung Joni tidak pernah menderita penyakit yang sedemikian hebatnya ini. Hanya dia saja yang mengalami penyakit separah ini. Penyakit yang hampir pernah membuatnya mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup ini. Daripada terus-terusan hidup menderita seperti ini, lebih baik mengakhiri hidup saja. Tetapi, keputusan itu tidak jadi diambilnya, karena dia berpikir bahwa dia bukanlah seorang laki-laki yang pasrah begitu saja kepada nasib. Lebih baik mati dalam pelukan Tuhan, daripada mati konyol minum racun serangga atau mati gantung diri. Itulah prinsip yang dipegang teguh oleh Joni.

“Tidak, aku harus tetap hidup menjalani kehidupanku seperti anak remaja lainnya, walaupun kelihatannya sangat berat bagiku. Aku yakin, Tuhan punya jalan lain. Ini berarti, Tuhan masih menyayangiku. Kalau tidak, mungkin aku sudah tidak bisa menghirup udara di dunia ini sejak aku lahir”, kata Joni meyakinkan hatinya pada saat ia ingin bertindak bodoh.
*****
            Mentari pagi telah menampakkan wajahnya yang berseri-seri, seperti wajah seseorang yang tidak asing lagi di dalam kehidupannya, wajah yang selalu mengisi hari-harinya di sekolah, wajah yang sejak dulu selalu dia simpan dalam lubuk hati yang terdalam. Ya, wajah itu adalah wajah Diva. Seorang wanita yang selama ini telah menjadi kekasihnya selama dia duduk di bangku SMA sampai dia duduk di bangku kelas III seperti sekarang ini.

            Walaupun Diva telah mengetahui penyakit yang diderita Joni, tetapi Diva tidak begitu saja mencampakkannya. Layaknya seseorang yang mengidap penyakit aids, lantas dikucilkan oleh masyarakat. Tidak, Diva bukanlah sosok wanita seperti itu. Lagipula Joni juga tidak mengidap penyakit aids. Yang dia lakukan adalah terus dan terus memberikan semangat kepada Joni agar selalu bangkit dan sembuh melawan penyakitnya. Karena sifat itulah yang membuat Joni semakin sayang pada Diva.

            “Aku yakin Jon, kamu pasti bisa sembuh. Asalkan kamu mau bangkit dan berkeinginan kuat untuk melawannya”, kata Diva yang selalu ia ucapkan kepada Joni. Dan kata-kata itu selalu terngiang dalam ingatannya dan tak mungkin hilang tersapu oleh waktu.
*****
Pagi itu Joni telah bersiap-siap untuk berangkat menuju sekolah kesayangannya. Sebenarnya bukanlah sekolah itu yang membuatnya sayang kepadanya. Tetapi, cewek yang telah memikat hatinyalah yang membuat dia menyayangi sekolahnya itu.

Dengan menaiki sepeda motor pemberian ayahnya, Joni memulai harinya di sekolah. Sengaja sepeda motor itu dibelikan oleh ayahnya agar Joni cepat sembuh. Sebenarnya tak pernah sedikitpun terbesit olehnya untuk memiliki sebuah sepeda motor. Tetapi, karena ayahnya telah membelikan untuknya, dia pun tidak mau menolaknya. Dan dia pun tidak pernah berpikir macam-macam atas kebaikan ayahnya. Lagipula, jarak antara rumah Joni dan sekolahnya terbilang cukup jauh. Maka kehadiran sepeda motor itupun menjadi sangat berarti baginya. Selain itu, dia juga lebih leluasa untuk mengajak Diva pergi hanya sekedar untuk berjalan-jalan ataupun pergi ke rumah temannya dengan sepeda motor itu.

Sebelum dia berangkat menuju ke sekolah, tak lupa dia melakukan tugas rutinnya, yaitu menjemput Diva yang jarak rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Setelah sampai, Diva pun sudah menanti di depan pintu. Setelah itu, kedua insan manusia itu langsung berangkat menuju ke sekolah.

“Kamu tahu gak Div? Besok aku mau merayakan ultahku di rumah. Kamu harus datang lho! Hukumnya wajib, he...he... Aku juga sudah bikin undangan buat teman-teman yang lain kok”, kata Joni dalam perjalanan.
“Iya... ya, besok kan hari ultahmu. Besok aku pasti datang. Aku mau bikin surprise buat kamu. Tunggu aja besok”, kata Diva sambil tersenyum.
“Aku juga mau ngasih surprise ke kamu. Bahkan nggak bakalan kamu lupain deh seumur hidup”, sahut Joni.
“Wah kayaknya seru banget tuh. Emangnya kamu mau ngasih aku surprise apaan sih? Jadi penasaran nih”, tanya Diva.
“Kalo aku ngasih tahu sekarang, namanya bukan surprise dong. Pokoknya, tunggu aja besok”, kata Joni meyakinkan.
“Iya deh, beneran ya”, kata Diva.
Setelah beberapa menit, mereka sampai ke sekolah dan langsung memulai kegiatan belajarnya.
*****
“Tet...tet....tet...”. Bel sekolah telah berbunyi dan jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah 2 siang. Itu artinya, jam pelajaran telah habis. Joni segera keluar dari kelas dan langsung menghampiri Diva di kelas sebelahnya. Mereka langsung menuju tempat di mana motor Joni diparkir. Kemudian mereka langsung pulang ke rumah.
“Mampir dulu Jon, minum-minum dulu. Kelihatannya kamu haus banget”, ajak Diva untuk sekedar mampir ke rumahnya.
“Ah, gak usah. Aku belum haus kok. Aku langsung pulang aja ya. Daaaah.....”, kata Joni sambil tancap gas.

Sesampainya di tengah jalan, ada sesuatu yang aneh yang dirasakan dalam tubuh Joni. Sepertinya rasa itu tak asing lagi baginya. Rasa yang selalu muncul setiap saat tanpa mengenal waktu. Tak salah lagi, penyakit jantung Joni kambuh lagi. Tak urung Joni pun langsung kehilangan keseimbangan saat menaiki sepeda motornya. Dan akhirnya, dia pun menabrak pohon besar di tepi jalan. Sehingga dia langsung jatuh tersungkur.

Beberapa orang yang melihatnya langsung segera membawanya ke rumah sakit. Tak berapa lama pun, keluarga Joni langsung mendengar kabar tentang kecelakaan anaknya melalui seseorang yang mendatangi rumahnya. Orang itu mengetahui alamat rumah Joni dari Kartu Pelajar yang ada dalam tasnya. Kecelakaan itu terbilang cukup parah, Joni mengalami pendarahan di kepalanya akibat terbentur pohon. Betapa kaget kedua orang tua dan kakaknya ketika melihat Joni terbaring di ruang ICU. Diva yang juga mendengar kabar ini langsung menyusulnya ke rumah sakit bersama teman-temannya.
*****
Malam semakin larut. Jam menunjukkan pukul 12 kurang 15 menit. Suasana rumah sakit semakin sunyi. Diva dan teman-temannya sudah lebih dulu pulang ke rumah. Hanya ada Bapak dan Ibunya Joni yang menemaninya terbaring di atas kasur ruang ICU. Tangan Joni terlihat bergerak-gerak, dan tak berapa lama terdengar suara Joni memanggil-manggil ayah dan ibunya.

Bapak... Ibuu.... Bapak.... Ibu..... Joni kenapa Bu?”, suara Joni mengagetkan ayah dan ibunya.
Dengan cepat Ibu dan Ayah Joni langsung mendekatinya dan menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya. Joni pun hanya bisa terbaring lemah sambil mendengar cerita dari ibunya. Setelah ibunya selesai berbicara, terlihat Joni seperti ingin berkata sesuatu pada ibunya.

            “ Bu, Joni mau ngomong sama Ibu”, Joni menghela napas.
            “Di acara ultah Joni besok, Joni pengen semua anggota keluarga kita, dan semua teman Joni berkumpul di rumah kita Bu”, kata Joni.
            “Tenang Nak, besok seluruh keluarga akan Ibu undang Nak, termasuk tetangga-tetangga kita juga. Asalkan dokter sudah bisa mengijinkan Joni untuk pulang ke rumah besok. Atau paling tidak, dokter membolehkan untuk dirawat jalan di rumah”, kata Ibu.
            “Terima kasih Bu, Bapak, dan juga Kakak yang sudah merawat Joni sampai sekarang ini”, kata Joni.

     Seketika itu Joni menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Kali ini hembusan napasnya terlihat sangat beda. Hembusan napas itu begitu pelan dan damai. Namun, siapa sangka jika itu adalah hembusan napas terakhir yang keluar dari hidungnya. Setelah itu tak ada lagi suara napas yang keluar dari hidung Joni.

     Ya, kali ini Joni benar-benar menghembuskan napas untuk yang terakhir kalinya. Joni telah dijemput oleh malaikat untuk memenuhi panggilan Tuhan. Jam tepat menunjukkan pukul 12 malam. Ini berarti hari ulang tahun sekaligus hari kematian Joni. Seketika itu juga, suara tangis orang tua Joni pecah memenuhi seluruh ruangan rumah sakit.
*****
       Jenazah Joni telah tiba di rumah. Semua keluarga, kerabat, tetangga dan teman-teman Joni telah berkumpul di rumahnya. Tepat, seperti permintaan terakhir Joni sebelum meninggal. Mereka sangat terpukul mendengar berita kematian Joni. Apalagi Diva yang terlihat pingsan setelah melihat jenazah Joni terbaring kaku dibalut kain kafan. 

     Beberapa teman Joni ingin melihat wajah Joni untuk yang terakhir kalinya. Tepat di samping jenazah Joni, terdapat kue ulang tahun yang sangat besar dan dihiasi oleh lilin yang  membentuk angka 18 dengan api kecil di atasnya. Ya, 18 tahun adalah usia yang sudah ditempuh oleh Joni dalam mengarungi pahit dan manisnya hidup di dunia ini. Di usia ke-18 tahun pula ia harus mengakhiri cerita hidupnya. Mungkin inilah surprise yang akan diberikannya kepada Diva. Sebuah kejutan yang tak akan pernah dilupakan Diva seumur hidupnya. Sampai akhir hayatnya…
 ***********

Penulis: Arifin Putra Solo

* Cerita ini diangkat dari kisah nyata seorang sahabat. Cerita ini pernah dikirim ke salah satu koran ternama di Kota Solo. Pada hari minggu, cerita ini pun diterbitkan di koran tersebut. Namun sayangnya, nama tokohnya diganti dan latar ceritanya sedikit dirubah. Dan yang lebih mengejutkan lagi nama penulisnya juga diganti dengan nama orang lain. Sejak saat itulah Penulis tidak mau lagi mengirim ceritanya ke koran tersebut. Karena hasil karyanya telah dijiplak oleh redaksi.

Selasa, 24 Maret 2015

VIDEO KLIP VIVO - ISI HATI



Ngomongin soal hobi musik nih Gan.. Selain hobi fotografi, editing foto, dan nulis cerita, ane juga hobi main musik Gan. Ane juga pernah punya band, yaahhh walaupun band ane gak sempet terkenal di Indonesia, tapi paling tidak band ane terkenal di dunia ghaib lah. Jadi yang dengerin lagu ane itu sebangsa makhluk astral, setan, jin, pocong, kuntilanak, genderuwo, wewe gombel, dan sejenisnya. Hahahaha….


Band ane namanya VIVO, posisi ane adalah pemain Bass dan Backing Vocal (bukan backing soda lho Gan). VIVO pernah bikin album kompilasi di Jakarta, produksi Akal Liar Production. Judul lagu di album tersebut yakni “KITA KAWAN”, sempat di-launching di Twin Plaza Hotel, Slipi, Jakarta tahun 2008 silam Gan. Selama VIVO berdiri sudah menelurkan 12 lagu (emangnya ayam? Bertelur…). Lagu VIVO beraliran Pop Alternatif. Lagu VIVO yang sudah dibikin video klip antara lain “ISI HATI” dan “AKU TAK BISA”.


Ini nih Gan foto band VIVO formasi terakhir, karena sempat beberapa kali ganti pemain, maksudnya ganti personel..




Dan ini nih video klip VIVO yang bertajuk “ISI HATI” dan sempat diputar di stasiun televisi lokal di Kota Solo. Langsung aja yachh… Cekibrroootttt…




Kalau mau download lagu mp3-nya "VIVO - ISI HATI" gak usah repot-repot Gan, tinggal klik aja Di sini

Buat yang udah lihat video atau download lagu mp3-nya ane ucapkan banyak terimakasih ya Gan.. Salam Super Lemper.. Yuukkkk Jreengg....

KOLEKSI CERPEN "DI BALIK RUPA"



DI BALIK RUPA


       Suara bising kendaraan yang berlalu-lalang di depanku membuatku jadi pusing. Apalagi ditambah dengan kepulan asap yang keluar dari corong knalpot motor dan mobil yang membuatku jadi semakin pusing saja. Tak pernah kusangka kalau nasibku bisa seperti ini. Orang-orang tidak pernah lagi memperdulikanku. Mereka tak mau ambil pusing dengan keberadaanku. Walaupun kadang ada segelintir orang yang merasa terusik oleh keberadaanku. Ya... mungkin inilah nasib menjadi seorang gelandangan, atau nama kerennya adalah gembel. Mungkin kata itu lebih tepat untuk menyebut diriku sendiri. Padahal belum lama juga aku hidup menjadi seorang gembel. Tapi predikat gembel harus kusandang dengan waktu yang sangat cepat. Tanpa anak, tanpa isteri yang menemani. Ingin sekali aku pulang ke tanah kelahiranku di daerah Gunung Kidul. Tapi apa mau dikata, orang-orang di seluruh desaku sudah tidak mau menerima dan mengharapkan keberadaanku lagi. Mungkin ini karena ulahku juga yang membuat mereka semua geram padaku. Akhirnya aku pun transmigrasi mendadak ke sebuah kota kecil yang tidak terlalu nyaman bagiku.
***
Orang-orang biasa memanggilku Mbah Kromo. Ya, Mbah Kromo si dukun sakti dari Gunung Kidul. Dari segala penjuru desa sudah tahu kalau aku ini memang dukun sakti. Itu kata mereka. Padahal aku sendiri tidak merasa bisa menyembuhkan orang. Segala macam penyakit bisa aku tangani. Ya, kalau sekedar menangani penyakit sih pasti bisa, tapi kalau untuk menyembuhkan penyakit tidak ada jaminannya. Kalau benar mereka bisa sembuh, mungkin itu hanya kebetulan saja. Atau memang sudah waktunya untuk sembuh. Tapi aku tidak pernah peduli dengan hal itu. Profesi sebagai seorang dukun memang menguntungkan. Siapa sangka menjadi seorang dukun bisa memiliki rumah yang besar dan lengkap dengan semua perabotan yang terbilang mewah. Makanya aku sangat senang menjadi seorang dukun, walaupun hanya menjadi seorang dukun gadungan. Toh, mereka semua sudah terlanjur percaya.

“Tok.. tok... tok... Kulonuwun Mbah Kromo”, terdengar suara ketukan pintu dari depan rumah. Segera kusuruh si Parto anak semata wayangku untuk membukakan pintu. 

“Oo.... Mbak Lastri dan si Tole tho. Monggo, silakan masuk. Tunggu sebentar, bapak lagi di belakang”, kata Parto pada mbak Lastri. Parto sudah tahu kalau maksud kedatangan Lastri pasti untuk mengobatkan si Tole anaknya. Segera aku temui Lastri dan anaknya.

“Oo... si Tole tho! Badannya panas lagi ya?”, tanyaku.
“Iya Mbah, badan si Tole mendadak panas lagi dan nangis terus. Padahal tadi pagi si Tole sehat-sehat saja”, kata Lastri.

“Paling-paling cuma kecapean, biasa anak kecil”, jawabku dengan enteng. Ya, enteng sekali, karena aku tidak punya keahlian khusus untuk mendeteksi sebuah penyakit walaupun hanya penyakit panas biasa. Maka aku jawab sekenanya saja, sesuai dengan logika orang awam. Segera kuambil segelas air putih lalu kulantunkan jampi-jampi layaknya seorang dukun beneran. Lastri pun hanya menatapku heran, dalam batinnya ia pasti bertanya-tanya tentang kalimat apa yang aku ucapkan. Tapi aku yakin, ia pasti percaya seratus persen padaku.

“Siapa dulu? Mbah Kromo.......He....he......”, kataku dalam hati sambil tertawa kecil.
Nyo Nduk, minumkan air putih ini pada si Tole sekarang juga. Besok pasti sudah sehat seperti semula”, kataku.
Tombo teka loro lungo”, kata Lastri sambil meminumkan air putih itu pada si Tole.
            “Terima kasih banyak Mbah. Ini ada sedikit uang untuk Mbah Kromo buat beli rokok.
            “Wah, kok repot-repot pake uang segala tho Las? Wong saya itu cuma menolong sesama tetangga saja kok, tidak lebih dari itu”, kataku basa-basi.

Walaupun akhirnya kuterima juga uang itu. Sebenarnya, memang uang itu yang aku harapkan, tidak lebih dari itu. Akhirnya Lastri dan si Tole pun berpamitan sambil mengucapkan beribu-ribu terima kasih padaku. Sekali lagi aku tertawa geli. Bahkan si Parto saja sampai tidak tahu kalau praktek dukun yang aku jalankan ini hanyalah tipuan belaka.
***
            Pada suatu malam yang amat hening, namun sangat ramai oleh suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar rumah.
            “Mbah Kromo, tolong Mbah..... tolong”, terdengar suara seorang laki-laki dari depan pintu. Sepertinya aku sangat kenal suara itu. Tak salah lagi, suara itu adalah suara Pak Jimin yang anaknya suka mabuk-mabukan di pos ronda bersama gerombolannya. Lucu, lha wong pos ronda kok malah buat mabok. Setelah aku intip dari jendela ternyata tebakanku tidak meleset.

            Kowe tho Min? Ada apa Min?”, kataku sambil membuka pintu.
            “Anu... begini Mbah. Anak saya kerasukan setan dan ngamuk-ngamuk tidak karuan di dalam rumah. Saya takut kalau dia merusak seisi rumah Mbah”, kata Jimin ketakutan.

Nah, apa aku bilang. Sekali lagi tebakanku tidak meleset. Mungkin aku lebih cocok jadi peramal dari pada jadi dukun. Tidak mungkin kalau anaknya Jimin kerasukan setan beneran. Paling-paling dia habis mabuk berat sama kawan-kawannya. Tapi, bola-bali yang namanya rejeki nyasar, embat saja.

“Ooalah... kalau masalah usir-mengusir setan, Mbah Kromo jagonya”, kataku menyombongkan diri. Sekali lagi, aku hanya bermain-main dengan logika saja.
“Tolong kamu carikan buah kelapa hijau yang masih segar”, kataku pada Jimin.
“Iya.. Mbah”, katanya.

Sekejap kemudian Jimin sudah datang dengan membawa buah kelapa hijau yang baru saja dia petik dari belakang rumah pak RT. Dengan modal asal  komat-kamit saja, buah kelapa hijau telah aku sulap menjadi obat pengusir setan.

            “Nah... tolong minumkan air kelapa ini sampai habis pada anakmu. Besok pagi pasti setannya sudah kabur”, kataku dengan mantap.
            “Terima kasih banyak Mbah. Oh ya, ini ada sedikit uang sebagai tanda terima kasih saya pada Mbah. Tolong diterima ya Mbah”, kata Jimin.
            “Ya... mau bagaimana lagi. Karena kamu memaksa, terpaksa uang ini saya terima”, kataku basa-basi.
Kemudian Jimin berpamitan dan lekas pergi tergesa-gesa dengan membawa ramuan gombal pengusir setan ala Mbah Kromo.
***
Matahari mulai menampakkan wajahnya, seolah-olah menebarkan senyum ke seluruh penjuru desa. Burung-burung yang bertengger di dahan-dahan pohon jati seakan-akan ikut menyambut kedatangannya. Para penduduk terlihat berlalu-lalang melakukan aktifitasnya masing-masing. Ada yang ingin pergi ke sawah, ada yang berangkat ke pasar, ada beberapa anak kecil yang hendak berangkat sekolah dengan menaiki sepeda onthel, dan ada juga yang sedang sibuk menjemur beras gabah di pelataran rumah. Tidak seperti aku yang kerjaannya hanya duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati beberapa batang rokok dan secangkir teh manis di pagi hari. Wah, benar-benar sorga ndonya.

Hari ini adalah hari Kamis, dan besok adalah hari Jumat yang jatuh tepat pada pasaran Kliwon. Seperti biasanya, setiap tigapuluh hari sekali aku selalu melakukan tapa prihatin untuk memperdalam ilmuku. Itupun aku lakukan hanya untuk pura-pura saja, biar seperti dukun beneran. Setahu orang-orang aku biasa melakukannya di dalam gua di desa lain yang letaknya agak jauh. Padahal di desa itu aku cuma mampir dan menginap di rumah saudaraku yang punya tambak ikan kakap dan setiap bulannya selalu dipanen. Alasanku sama saudaraku sih gampang sekali, biasanya aku selalu bilang pada mereka kalau aku ingin membantu mereka memanen ikan. Toh, mereka juga sudah tahu kalau kedatanganku ke rumah mereka tidak lain hanya untuk membantu memanen ikan. Selain itu, sebagai seorang saudara dekat memang harus sering-sering bersilaturahmi, agar tetap rukun satu sama lain. Sebenarnya isteriku juga sudah tahu kalau aku pergi dari rumah bukanlah untuk bertapa. Tapi Parto tidak tahu tentang ini. Setahunya, aku memang berprofesi sebagai dukun.

Segala sesuatunya sudah aku siapkan sebelumnya. Mulailah aku berangkat untuk bertapa alias pergi ke rumah saudara dengan mengendarai sepeda motor baru yang belum lama ini aku beli. Kalau dipikir-pikir memang lucu dan konyol. Lha wong dukun mau pergi bertapa kok naik motor. Aku juga pernah ditanyai oleh tetanggaku soal hal tersebut. Memangnya sepeda motor bisa masuk dalam hutan? Lagipula di dalam hutan juga tidak ada petugas parkir motornya. Tapi pertanyaan itu tak terlalu serius aku tanggapi, aku jawab saja sekenanya. Ya itulah kalau berprofesi sebagai dukun di era globalisasi. Untung saja aku tidak punya handphone. Karena di desaku belum dibangun menara tower untuk menangkap dan mengirim sinyal dari handphone. Jadi susah sekali untuk mendapat sinyal. Kalau aku punya handphone malah semakin lucu sekali. Dukun tradisional kok pakai handphone segala.
***
            Matahari telah menampakkan parasnya lagi. Hari ini adalah hari Jumat Kliwon yang sangat cerah. Waktunya untuk pulang ke rumah, sebagai tanda kalau aku telah selesai melakukan ritual tapa prihatin di dalam gua. Segera aku membereskan semua bekal yang sebelumnya aku bawa dari rumah, yaitu sebuah tas dari kain yang berisi beberapa buah pakaian ganti. Kemudian aku lekas berpamitan pada saudaraku sebelum pulang.

            “To... Karto!! Aku pamit mau pulang dulu. Yang di rumah mungkin sudah menunggu-nunggu”, kataku pada Karto, adikku.
            “Ya Kang! Tapi tunggu sebentar, ini ada beberapa kilo ikan kakap buat dimasak di rumah”, kata Karto sambil memberikan bungkusan plastik hitam yang berisi ikan kakap segar.
            “Terima kasih lho. Bulan depan kalau aku ada waktu pasti aku datang ke sini lagi”, kataku. Lalu aku bergegas menaiki motor dan langsung pulang ke rumah.
***
            Tiba juga motorku memasuki gapura di perbatasan desaku. Suasana siang ini tak terlihat seperti biasanya. Terlihat beberapa bendera warna merah yang terbuat dari kertas minyak. Bendera itu tertempel pada beberapa pohon yang terletak di sudut gang menuju rumahku. Ini bukanlah bendera biasa yang sering dibuat orang-orang pada acara 17 Agustus. Ya, karena bulan ini bukanlah bulan Agustus. Tapi bendera itu melambangkan sebuah kematian. Tepat sekali, sebuah kematian di desaku. Setelah motorku tepat melewati depan rumah Jimin, terlihat kerumunan orang yang sedang duduk-duduk di kursi dengan dipayungi oleh terpal berwarna biru. Ini bukanlah sebuah pesta pernikahan atau syukuran. Karena di dalam rumah Jimin terdengar suara isakan tangis histeris. Tak salah lagi, aroma kematian semakin tercium dengan jelas dari dalam rumah Jimin. Lalu kuhentikan laju motorku untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya terjadi pada keluarga Jimin. Namun apa yang terjadi, belum sempat aku menginjakkan kakiku di pelataran rumahnya. Tiba-tiba beberapa orang menatapku dengan tajam dan dengan muka geram. Dengan serentak mereka meneriakiku.

            “Dukun santet! Dukun santet!! Ya, itu dia tukang dukun santetnya”, teriak orang-orang padaku. Aku terperanjat bukan kepalang, bingung bercampur kalut.
            “Usir Mbah Kromo dari desa kita”, teriak salah satu dari mereka seperti berorasi.
“Setelah anaknya Jimin, siapa lagi yang akan dijadikan tumbal oleh ilmunya Mbah Kromo? Apakah kita harus menunggu sampai ada korban selanjutnya?”.

Dari perkataan mereka aku menjadi tahu kalau yang mati adalah anaknya Jimin. Tapi yang membuat aku menjadi semakin bingung adalah mengapa mereka mengkait-kaitkan kematiannya denganku. Mungkin mereka mengira bahwa kepergianku bertapa untuk menambah ilmu dikaitkan dengan kematian anaknya Jimin sebagai tumbalnya. Ya, aku semakin mengerti dan aku tak dapat mengelak lagi pada mereka. Tanpa berpikir panjang aku pun bergegas lari sekencang-kencangnya meninggalkan desa kelahiranku itu. Tapi teriakan itu masih saja terdengar dan bahkan semakin ramai saja.

“Usir Mbah Kromo dari desa kita! Usir Mbah Kromo dari desa kita”.
***
Aku lari tanpa arah dan tujuan meninggalkan desa kelahiranku, dan menuju sebuah tempat dimana suara bising kendaraan yang berlalu-lalang di depanku membuatku jadi pusing. Apalagi ditambah dengan kepulan asap yang keluar dari corong knalpot motor dan mobil yang membuatku jadi semakin pusing saja. Terdamparlah aku di sebuah kota tanpa keramahan di dalamnya.
***
 
(Solo, 25-08-’07)

Penulis: Arifin Putra Solo