PENGORBANAN
Kenangan pahit itu masih
saja berkecamuk dan berputar-putar dalam kepalaku. Sulit rasanya untuk
menghapus bahkan membuangnya jauh-jauh dari pikiranku. Alam bawah sadarku
seakan-akan terus mengajakku bermain-main dengan kenangan itu. Setiap hari
kenangan itu selalu tergambar dengan jelas seperti fatamorgana yang terpancar
oleh lampu proyektor dalam suatu ruangan yang gelap. Mereka tak mau tahu lagi
dengan penderitaan yang selalu menyeretku ke dalam kubangan mimpi-mimpi yang
tak pernah aku inginkan kehadirannya. Pernah suatu ketika aku bangkit dan
mencoba mengusir kenangan-kenangan itu dengan sadis, bak seorang ksatria
melawan iblis-iblis bengis. Namun, sang ksatria itu telah terbunuh lebih dulu
oleh sang iblis. Akhirnya akupun telah dikalahkan oleh kenangan-kenangan pahit
itu. Pernah juga suatu ketika, aku mencoba mencari bala tentara untuk mengusir
iblis-iblis itu. Tapi bala tentara itu tetap tak mampu mengusirnya,
kenangan-kenangan pahit itupun memenangkan pertandingan ini. Hingga aku pasrah
pada apa yang telah aku alami. Aku hanya bisa menunggu sampai kenangan-kenangan
pahit itupun puas menggerogoti pikiranku.
***
Setahun
sudah aku ditinggal minggat oleh isteriku. Isteri yang sangat aku
cintai. Lima tahun yang lalu telah aku putuskan pilihanku untuk menikahinya.
Yaitu seorang wanita yang sangat cantik dan sangat genit bila berjalan di depan
seorang pemuda. Tidak mudah untuk mendapatkan hatinya. Apalagi dia merupakan
seorang wanita pujaan setiap pemuda di kampung kami. Sampai sekarang aku masih
heran mengapa dia mau menjadi palabuhan kapal cintaku yang selalu
terombang-ambing oleh badai asmara. Padahal wajahku juga tidak terlalu
tampan-tampan amat. Apalagi aku juga bukan berasal dari keluarga yang kaya,
apalagi keturunan bangsawan. Ayahku hanyalah seorang pegawai negeri yang
gajinya tidak sebanding dengan jumlah anak yang dimilikinya. Aku merupakan anak
pertama dari lima saudaraku yang semuanya masih duduk di bangku sekolah dan
perguruan tinggi. Adikku yang paling kecil masih berumur 5 tahun. Ibuku
hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap harinya selalu kerepotan
mengurusi anak-anaknya.
Setelah aku lulus dari sebuah
perguruan tinggi, aku putuskan untuk segera mencari pekerjaan. Yaitu sebuah
pekerjaan yang bisa menghindarkan aku dari sebuah label pengangguran. Maka
kuputuskan untuk melamar di sebuah perusahaan milik negara sebagai seorang
pegawai biasa. Maklum, jaman sekarang orang tidak bisa seenaknnya memilih-milih
pekerjaan sesuai dengan kemauannya. Bisa mendapat pekerjaan yang halal saja
sudah beruntung. Maka setiap bulan aku mencoba menabung sedikit-demi sedikit
hasil jerih payahku. Setelah terkumpul cukup bayak, aku putuskan untuk
mengontrak rumah sendiri yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah
orangtuaku. Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu membeli sebuah sepeda motor
pribadi. Maka kuberanikan diri untuk mendekati sang wanita pujaan hati setiap
pemuda di kampung kami. Dialah Ratri, ya,dia adalah seorang wanita yang sudah
lama aku impi-impikan untuk menjadi seorang kekasih. Akhirnya ia pun mau untuk
menjalin cinta denganku. Lima bulan setelah kami pacaran, akhirnya kami pun
memutuskan untuk menikah. Kami berdua tinggal di rumah kontrakan yang cukup
nyaman bagi pasangan pengantin baru seperti kami ini.
Pada awal mulanya, rumah
tangga kami baik-baik saja. Tidak ada masalah yang serius yang mengusik
ketenangan kami. Selama 4 tahun kami
menikah, kami belum dikarunia seorang momongan. Seorang bayi yang tangisannya
selalu diidam-idamkan oleh setiap pasangan suami isteri. Setiap kami berkunjung
ke rumah orang tua kami, mereka selalu menanyakan hal yang sama. Yaitu sebuah
pertanyaan yang tak bosan-bosannya mereka lemparkan pada kami saat berkunjung
ke rumah mereka.
“Kapan kalian akan punya
momongan? Kami sudah tidak sabar untuk menjadi nenek kakek lho.”, kata mereka
dengan sedikit canda. Tapi pertanyaan itu selalu aku jawab dengan jawaban yang
sama pula.
“Ya, mungkin Tuhan belum
memberi kami seorang momongan Bu!” kataku dengan mantap.
***
Pada suatu hari, kami mencoba
memeriksakan diri ke sebuah dokter spesialis kandungan. Ternyata dokter
menemukan kelainan hormon pada kandungan isteriku.
“Maaf, isteri Anda mengalami
kelainan hormon pada kandungannya. Jadi, kemungkinan untuk hamil sangat sedikit
dan hampir tidak mungkin bisa hamil”, kata dokter. Dokter telah memfonis
isteriku mandul dan tidak bisa hamil. Bagai tersambar petir di siang hari,
pernyataan dokter itu seakan mengkoyak-koyak hati kami menjadi beribu-ribu
serpihan. Aku sudah berusaha untuk menenangkan perasaan Ratri, namun ia belum
bisa menerima kenyataan pahit ini. Sebagai seorang suami, aku juga merasa
sangat sedih. Namun sebagai seorang laki-laki aku harus tegar menghadapinya.
Aku harus berprasangka baik pada Tuhan.
***
Matahari
telah menampakkan wajahnya dengan bangga di pagi yang begitu cerah. Hingga
sinarnya menerobos jendela melalui celah-celah kaca yang sedikit terbuka gordin
penutupnya. Mataku terbelalak oleh sorotan sinar matahari pagi itu. Tak seperti
biasanya, isteriku tak terlihat berada di sampingku. Tak terdengar juga suara
isteriku sedang memasak di dapur, apalagi mempersiapkan sarapan di meja makan.
Tak sengaja mataku tertuju pada dipan tempat tidur. Di atas dipan itu terdapat
sepucuk surat yang sengaja di tulis dan ditujukan untukku. Kemudian dengan
pelan-pelan kuambil sepucuk surat itu dan kemudian aku baca.
Untuk
: Suamiku tercinta,
Maafkan aku Mas, jika kepergianku ini begitu
cepat. Sengaja aku pergi meninggalkanmu, agar kau bisa mencari seorang wanita
yang bisa memberikanmu keturunan seperti yang kau idam-idamkan sebelumnya. Maafkan
aku Mas, semoga kelak kau bisa bahagia bersama wanita yang akan menjadi
penggantiku nanti. Salam sayang dariku..........................
Dari
: Ratri
Di pagi yang cerah ini, sekejap dunia berubah
menjadi gelap..............................................
***
Penulis: Arifin Putra Solo
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum SOLOPOS tahun 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar