Senin, 23 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "PENGORBANAN"

PENGORBANAN


Kenangan pahit itu masih saja berkecamuk dan berputar-putar dalam kepalaku. Sulit rasanya untuk menghapus bahkan membuangnya jauh-jauh dari pikiranku. Alam bawah sadarku seakan-akan terus mengajakku bermain-main dengan kenangan itu. Setiap hari kenangan itu selalu tergambar dengan jelas seperti fatamorgana yang terpancar oleh lampu proyektor dalam suatu ruangan yang gelap. Mereka tak mau tahu lagi dengan penderitaan yang selalu menyeretku ke dalam kubangan mimpi-mimpi yang tak pernah aku inginkan kehadirannya. Pernah suatu ketika aku bangkit dan mencoba mengusir kenangan-kenangan itu dengan sadis, bak seorang ksatria melawan iblis-iblis bengis. Namun, sang ksatria itu telah terbunuh lebih dulu oleh sang iblis. Akhirnya akupun telah dikalahkan oleh kenangan-kenangan pahit itu. Pernah juga suatu ketika, aku mencoba mencari bala tentara untuk mengusir iblis-iblis itu. Tapi bala tentara itu tetap tak mampu mengusirnya, kenangan-kenangan pahit itupun memenangkan pertandingan ini. Hingga aku pasrah pada apa yang telah aku alami. Aku hanya bisa menunggu sampai kenangan-kenangan pahit itupun puas menggerogoti pikiranku.
***
            Setahun sudah aku ditinggal minggat oleh isteriku. Isteri yang sangat aku cintai. Lima tahun yang lalu telah aku putuskan pilihanku untuk menikahinya. Yaitu seorang wanita yang sangat cantik dan sangat genit bila berjalan di depan seorang pemuda. Tidak mudah untuk mendapatkan hatinya. Apalagi dia merupakan seorang wanita pujaan setiap pemuda di kampung kami. Sampai sekarang aku masih heran mengapa dia mau menjadi palabuhan kapal cintaku yang selalu terombang-ambing oleh badai asmara. Padahal wajahku juga tidak terlalu tampan-tampan amat. Apalagi aku juga bukan berasal dari keluarga yang kaya, apalagi keturunan bangsawan. Ayahku hanyalah seorang pegawai negeri yang gajinya tidak sebanding dengan jumlah anak yang dimilikinya. Aku merupakan anak pertama dari lima saudaraku yang semuanya masih duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi. Adikku yang paling kecil masih berumur 5 tahun. Ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa yang setiap harinya selalu kerepotan mengurusi anak-anaknya.

Setelah aku lulus dari sebuah perguruan tinggi, aku putuskan untuk segera mencari pekerjaan. Yaitu sebuah pekerjaan yang bisa menghindarkan aku dari sebuah label pengangguran. Maka kuputuskan untuk melamar di sebuah perusahaan milik negara sebagai seorang pegawai biasa. Maklum, jaman sekarang orang tidak bisa seenaknnya memilih-milih pekerjaan sesuai dengan kemauannya. Bisa mendapat pekerjaan yang halal saja sudah beruntung. Maka setiap bulan aku mencoba menabung sedikit-demi sedikit hasil jerih payahku. Setelah terkumpul cukup bayak, aku putuskan untuk mengontrak rumah sendiri yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumah orangtuaku. Beberapa bulan kemudian aku sudah mampu membeli sebuah sepeda motor pribadi. Maka kuberanikan diri untuk mendekati sang wanita pujaan hati setiap pemuda di kampung kami. Dialah Ratri, ya,dia adalah seorang wanita yang sudah lama aku impi-impikan untuk menjadi seorang kekasih. Akhirnya ia pun mau untuk menjalin cinta denganku. Lima bulan setelah kami pacaran, akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah. Kami berdua tinggal di rumah kontrakan yang cukup nyaman bagi pasangan pengantin baru seperti kami ini.

Pada awal mulanya, rumah tangga kami baik-baik saja. Tidak ada masalah yang serius yang mengusik ketenangan kami. Selama  4 tahun kami menikah, kami belum dikarunia seorang momongan. Seorang bayi yang tangisannya selalu diidam-idamkan oleh setiap pasangan suami isteri. Setiap kami berkunjung ke rumah orang tua kami, mereka selalu menanyakan hal yang sama. Yaitu sebuah pertanyaan yang tak bosan-bosannya mereka lemparkan pada kami saat berkunjung ke rumah mereka.

“Kapan kalian akan punya momongan? Kami sudah tidak sabar untuk menjadi nenek kakek lho.”, kata mereka dengan sedikit canda. Tapi pertanyaan itu selalu aku jawab dengan jawaban yang sama pula.
“Ya, mungkin Tuhan belum memberi kami seorang momongan Bu!” kataku dengan mantap.
***
Pada suatu hari, kami mencoba memeriksakan diri ke sebuah dokter spesialis kandungan. Ternyata dokter menemukan kelainan hormon pada kandungan isteriku.
“Maaf, isteri Anda mengalami kelainan hormon pada kandungannya. Jadi, kemungkinan untuk hamil sangat sedikit dan hampir tidak mungkin bisa hamil”, kata dokter. Dokter telah memfonis isteriku mandul dan tidak bisa hamil. Bagai tersambar petir di siang hari, pernyataan dokter itu seakan mengkoyak-koyak hati kami menjadi beribu-ribu serpihan. Aku sudah berusaha untuk menenangkan perasaan Ratri, namun ia belum bisa menerima kenyataan pahit ini. Sebagai seorang suami, aku juga merasa sangat sedih. Namun sebagai seorang laki-laki aku harus tegar menghadapinya. Aku harus berprasangka baik pada Tuhan.
***
            Matahari telah menampakkan wajahnya dengan bangga di pagi yang begitu cerah. Hingga sinarnya menerobos jendela melalui celah-celah kaca yang sedikit terbuka gordin penutupnya. Mataku terbelalak oleh sorotan sinar matahari pagi itu. Tak seperti biasanya, isteriku tak terlihat berada di sampingku. Tak terdengar juga suara isteriku sedang memasak di dapur, apalagi mempersiapkan sarapan di meja makan. Tak sengaja mataku tertuju pada dipan tempat tidur. Di atas dipan itu terdapat sepucuk surat yang sengaja di tulis dan ditujukan untukku. Kemudian dengan pelan-pelan kuambil sepucuk surat itu dan kemudian aku baca.

Untuk : Suamiku tercinta,

Maafkan aku Mas, jika kepergianku ini begitu cepat. Sengaja aku pergi meninggalkanmu, agar kau bisa mencari seorang wanita yang bisa memberikanmu keturunan seperti yang kau idam-idamkan sebelumnya. Maafkan aku Mas, semoga kelak kau bisa bahagia bersama wanita yang akan menjadi penggantiku nanti. Salam sayang dariku..........................
                                                                                                                        Dari : Ratri

Di pagi yang cerah ini, sekejap dunia berubah menjadi gelap..............................................
***

                                                               Solo, 2 April 2007 

Penulis: Arifin Putra Solo
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum SOLOPOS tahun 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar