Selasa, 24 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "DI BALIK RUPA"



DI BALIK RUPA


       Suara bising kendaraan yang berlalu-lalang di depanku membuatku jadi pusing. Apalagi ditambah dengan kepulan asap yang keluar dari corong knalpot motor dan mobil yang membuatku jadi semakin pusing saja. Tak pernah kusangka kalau nasibku bisa seperti ini. Orang-orang tidak pernah lagi memperdulikanku. Mereka tak mau ambil pusing dengan keberadaanku. Walaupun kadang ada segelintir orang yang merasa terusik oleh keberadaanku. Ya... mungkin inilah nasib menjadi seorang gelandangan, atau nama kerennya adalah gembel. Mungkin kata itu lebih tepat untuk menyebut diriku sendiri. Padahal belum lama juga aku hidup menjadi seorang gembel. Tapi predikat gembel harus kusandang dengan waktu yang sangat cepat. Tanpa anak, tanpa isteri yang menemani. Ingin sekali aku pulang ke tanah kelahiranku di daerah Gunung Kidul. Tapi apa mau dikata, orang-orang di seluruh desaku sudah tidak mau menerima dan mengharapkan keberadaanku lagi. Mungkin ini karena ulahku juga yang membuat mereka semua geram padaku. Akhirnya aku pun transmigrasi mendadak ke sebuah kota kecil yang tidak terlalu nyaman bagiku.
***
Orang-orang biasa memanggilku Mbah Kromo. Ya, Mbah Kromo si dukun sakti dari Gunung Kidul. Dari segala penjuru desa sudah tahu kalau aku ini memang dukun sakti. Itu kata mereka. Padahal aku sendiri tidak merasa bisa menyembuhkan orang. Segala macam penyakit bisa aku tangani. Ya, kalau sekedar menangani penyakit sih pasti bisa, tapi kalau untuk menyembuhkan penyakit tidak ada jaminannya. Kalau benar mereka bisa sembuh, mungkin itu hanya kebetulan saja. Atau memang sudah waktunya untuk sembuh. Tapi aku tidak pernah peduli dengan hal itu. Profesi sebagai seorang dukun memang menguntungkan. Siapa sangka menjadi seorang dukun bisa memiliki rumah yang besar dan lengkap dengan semua perabotan yang terbilang mewah. Makanya aku sangat senang menjadi seorang dukun, walaupun hanya menjadi seorang dukun gadungan. Toh, mereka semua sudah terlanjur percaya.

“Tok.. tok... tok... Kulonuwun Mbah Kromo”, terdengar suara ketukan pintu dari depan rumah. Segera kusuruh si Parto anak semata wayangku untuk membukakan pintu. 

“Oo.... Mbak Lastri dan si Tole tho. Monggo, silakan masuk. Tunggu sebentar, bapak lagi di belakang”, kata Parto pada mbak Lastri. Parto sudah tahu kalau maksud kedatangan Lastri pasti untuk mengobatkan si Tole anaknya. Segera aku temui Lastri dan anaknya.

“Oo... si Tole tho! Badannya panas lagi ya?”, tanyaku.
“Iya Mbah, badan si Tole mendadak panas lagi dan nangis terus. Padahal tadi pagi si Tole sehat-sehat saja”, kata Lastri.

“Paling-paling cuma kecapean, biasa anak kecil”, jawabku dengan enteng. Ya, enteng sekali, karena aku tidak punya keahlian khusus untuk mendeteksi sebuah penyakit walaupun hanya penyakit panas biasa. Maka aku jawab sekenanya saja, sesuai dengan logika orang awam. Segera kuambil segelas air putih lalu kulantunkan jampi-jampi layaknya seorang dukun beneran. Lastri pun hanya menatapku heran, dalam batinnya ia pasti bertanya-tanya tentang kalimat apa yang aku ucapkan. Tapi aku yakin, ia pasti percaya seratus persen padaku.

“Siapa dulu? Mbah Kromo.......He....he......”, kataku dalam hati sambil tertawa kecil.
Nyo Nduk, minumkan air putih ini pada si Tole sekarang juga. Besok pasti sudah sehat seperti semula”, kataku.
Tombo teka loro lungo”, kata Lastri sambil meminumkan air putih itu pada si Tole.
            “Terima kasih banyak Mbah. Ini ada sedikit uang untuk Mbah Kromo buat beli rokok.
            “Wah, kok repot-repot pake uang segala tho Las? Wong saya itu cuma menolong sesama tetangga saja kok, tidak lebih dari itu”, kataku basa-basi.

Walaupun akhirnya kuterima juga uang itu. Sebenarnya, memang uang itu yang aku harapkan, tidak lebih dari itu. Akhirnya Lastri dan si Tole pun berpamitan sambil mengucapkan beribu-ribu terima kasih padaku. Sekali lagi aku tertawa geli. Bahkan si Parto saja sampai tidak tahu kalau praktek dukun yang aku jalankan ini hanyalah tipuan belaka.
***
            Pada suatu malam yang amat hening, namun sangat ramai oleh suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar rumah.
            “Mbah Kromo, tolong Mbah..... tolong”, terdengar suara seorang laki-laki dari depan pintu. Sepertinya aku sangat kenal suara itu. Tak salah lagi, suara itu adalah suara Pak Jimin yang anaknya suka mabuk-mabukan di pos ronda bersama gerombolannya. Lucu, lha wong pos ronda kok malah buat mabok. Setelah aku intip dari jendela ternyata tebakanku tidak meleset.

            Kowe tho Min? Ada apa Min?”, kataku sambil membuka pintu.
            “Anu... begini Mbah. Anak saya kerasukan setan dan ngamuk-ngamuk tidak karuan di dalam rumah. Saya takut kalau dia merusak seisi rumah Mbah”, kata Jimin ketakutan.

Nah, apa aku bilang. Sekali lagi tebakanku tidak meleset. Mungkin aku lebih cocok jadi peramal dari pada jadi dukun. Tidak mungkin kalau anaknya Jimin kerasukan setan beneran. Paling-paling dia habis mabuk berat sama kawan-kawannya. Tapi, bola-bali yang namanya rejeki nyasar, embat saja.

“Ooalah... kalau masalah usir-mengusir setan, Mbah Kromo jagonya”, kataku menyombongkan diri. Sekali lagi, aku hanya bermain-main dengan logika saja.
“Tolong kamu carikan buah kelapa hijau yang masih segar”, kataku pada Jimin.
“Iya.. Mbah”, katanya.

Sekejap kemudian Jimin sudah datang dengan membawa buah kelapa hijau yang baru saja dia petik dari belakang rumah pak RT. Dengan modal asal  komat-kamit saja, buah kelapa hijau telah aku sulap menjadi obat pengusir setan.

            “Nah... tolong minumkan air kelapa ini sampai habis pada anakmu. Besok pagi pasti setannya sudah kabur”, kataku dengan mantap.
            “Terima kasih banyak Mbah. Oh ya, ini ada sedikit uang sebagai tanda terima kasih saya pada Mbah. Tolong diterima ya Mbah”, kata Jimin.
            “Ya... mau bagaimana lagi. Karena kamu memaksa, terpaksa uang ini saya terima”, kataku basa-basi.
Kemudian Jimin berpamitan dan lekas pergi tergesa-gesa dengan membawa ramuan gombal pengusir setan ala Mbah Kromo.
***
Matahari mulai menampakkan wajahnya, seolah-olah menebarkan senyum ke seluruh penjuru desa. Burung-burung yang bertengger di dahan-dahan pohon jati seakan-akan ikut menyambut kedatangannya. Para penduduk terlihat berlalu-lalang melakukan aktifitasnya masing-masing. Ada yang ingin pergi ke sawah, ada yang berangkat ke pasar, ada beberapa anak kecil yang hendak berangkat sekolah dengan menaiki sepeda onthel, dan ada juga yang sedang sibuk menjemur beras gabah di pelataran rumah. Tidak seperti aku yang kerjaannya hanya duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati beberapa batang rokok dan secangkir teh manis di pagi hari. Wah, benar-benar sorga ndonya.

Hari ini adalah hari Kamis, dan besok adalah hari Jumat yang jatuh tepat pada pasaran Kliwon. Seperti biasanya, setiap tigapuluh hari sekali aku selalu melakukan tapa prihatin untuk memperdalam ilmuku. Itupun aku lakukan hanya untuk pura-pura saja, biar seperti dukun beneran. Setahu orang-orang aku biasa melakukannya di dalam gua di desa lain yang letaknya agak jauh. Padahal di desa itu aku cuma mampir dan menginap di rumah saudaraku yang punya tambak ikan kakap dan setiap bulannya selalu dipanen. Alasanku sama saudaraku sih gampang sekali, biasanya aku selalu bilang pada mereka kalau aku ingin membantu mereka memanen ikan. Toh, mereka juga sudah tahu kalau kedatanganku ke rumah mereka tidak lain hanya untuk membantu memanen ikan. Selain itu, sebagai seorang saudara dekat memang harus sering-sering bersilaturahmi, agar tetap rukun satu sama lain. Sebenarnya isteriku juga sudah tahu kalau aku pergi dari rumah bukanlah untuk bertapa. Tapi Parto tidak tahu tentang ini. Setahunya, aku memang berprofesi sebagai dukun.

Segala sesuatunya sudah aku siapkan sebelumnya. Mulailah aku berangkat untuk bertapa alias pergi ke rumah saudara dengan mengendarai sepeda motor baru yang belum lama ini aku beli. Kalau dipikir-pikir memang lucu dan konyol. Lha wong dukun mau pergi bertapa kok naik motor. Aku juga pernah ditanyai oleh tetanggaku soal hal tersebut. Memangnya sepeda motor bisa masuk dalam hutan? Lagipula di dalam hutan juga tidak ada petugas parkir motornya. Tapi pertanyaan itu tak terlalu serius aku tanggapi, aku jawab saja sekenanya. Ya itulah kalau berprofesi sebagai dukun di era globalisasi. Untung saja aku tidak punya handphone. Karena di desaku belum dibangun menara tower untuk menangkap dan mengirim sinyal dari handphone. Jadi susah sekali untuk mendapat sinyal. Kalau aku punya handphone malah semakin lucu sekali. Dukun tradisional kok pakai handphone segala.
***
            Matahari telah menampakkan parasnya lagi. Hari ini adalah hari Jumat Kliwon yang sangat cerah. Waktunya untuk pulang ke rumah, sebagai tanda kalau aku telah selesai melakukan ritual tapa prihatin di dalam gua. Segera aku membereskan semua bekal yang sebelumnya aku bawa dari rumah, yaitu sebuah tas dari kain yang berisi beberapa buah pakaian ganti. Kemudian aku lekas berpamitan pada saudaraku sebelum pulang.

            “To... Karto!! Aku pamit mau pulang dulu. Yang di rumah mungkin sudah menunggu-nunggu”, kataku pada Karto, adikku.
            “Ya Kang! Tapi tunggu sebentar, ini ada beberapa kilo ikan kakap buat dimasak di rumah”, kata Karto sambil memberikan bungkusan plastik hitam yang berisi ikan kakap segar.
            “Terima kasih lho. Bulan depan kalau aku ada waktu pasti aku datang ke sini lagi”, kataku. Lalu aku bergegas menaiki motor dan langsung pulang ke rumah.
***
            Tiba juga motorku memasuki gapura di perbatasan desaku. Suasana siang ini tak terlihat seperti biasanya. Terlihat beberapa bendera warna merah yang terbuat dari kertas minyak. Bendera itu tertempel pada beberapa pohon yang terletak di sudut gang menuju rumahku. Ini bukanlah bendera biasa yang sering dibuat orang-orang pada acara 17 Agustus. Ya, karena bulan ini bukanlah bulan Agustus. Tapi bendera itu melambangkan sebuah kematian. Tepat sekali, sebuah kematian di desaku. Setelah motorku tepat melewati depan rumah Jimin, terlihat kerumunan orang yang sedang duduk-duduk di kursi dengan dipayungi oleh terpal berwarna biru. Ini bukanlah sebuah pesta pernikahan atau syukuran. Karena di dalam rumah Jimin terdengar suara isakan tangis histeris. Tak salah lagi, aroma kematian semakin tercium dengan jelas dari dalam rumah Jimin. Lalu kuhentikan laju motorku untuk mengetahui kejadian yang sebenarnya terjadi pada keluarga Jimin. Namun apa yang terjadi, belum sempat aku menginjakkan kakiku di pelataran rumahnya. Tiba-tiba beberapa orang menatapku dengan tajam dan dengan muka geram. Dengan serentak mereka meneriakiku.

            “Dukun santet! Dukun santet!! Ya, itu dia tukang dukun santetnya”, teriak orang-orang padaku. Aku terperanjat bukan kepalang, bingung bercampur kalut.
            “Usir Mbah Kromo dari desa kita”, teriak salah satu dari mereka seperti berorasi.
“Setelah anaknya Jimin, siapa lagi yang akan dijadikan tumbal oleh ilmunya Mbah Kromo? Apakah kita harus menunggu sampai ada korban selanjutnya?”.

Dari perkataan mereka aku menjadi tahu kalau yang mati adalah anaknya Jimin. Tapi yang membuat aku menjadi semakin bingung adalah mengapa mereka mengkait-kaitkan kematiannya denganku. Mungkin mereka mengira bahwa kepergianku bertapa untuk menambah ilmu dikaitkan dengan kematian anaknya Jimin sebagai tumbalnya. Ya, aku semakin mengerti dan aku tak dapat mengelak lagi pada mereka. Tanpa berpikir panjang aku pun bergegas lari sekencang-kencangnya meninggalkan desa kelahiranku itu. Tapi teriakan itu masih saja terdengar dan bahkan semakin ramai saja.

“Usir Mbah Kromo dari desa kita! Usir Mbah Kromo dari desa kita”.
***
Aku lari tanpa arah dan tujuan meninggalkan desa kelahiranku, dan menuju sebuah tempat dimana suara bising kendaraan yang berlalu-lalang di depanku membuatku jadi pusing. Apalagi ditambah dengan kepulan asap yang keluar dari corong knalpot motor dan mobil yang membuatku jadi semakin pusing saja. Terdamparlah aku di sebuah kota tanpa keramahan di dalamnya.
***
 
(Solo, 25-08-’07)

Penulis: Arifin Putra Solo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar