DI BALIK RUPA
Suara bising kendaraan yang
berlalu-lalang di depanku membuatku jadi pusing. Apalagi ditambah dengan
kepulan asap yang keluar dari corong knalpot motor dan mobil yang membuatku
jadi semakin pusing saja. Tak pernah kusangka kalau nasibku bisa seperti ini. Orang-orang
tidak pernah lagi memperdulikanku. Mereka tak mau ambil pusing dengan
keberadaanku. Walaupun kadang ada segelintir orang yang merasa terusik oleh
keberadaanku. Ya... mungkin inilah nasib menjadi seorang gelandangan, atau nama
kerennya adalah gembel. Mungkin kata itu lebih tepat untuk menyebut
diriku sendiri. Padahal belum lama juga aku hidup menjadi seorang gembel.
Tapi predikat gembel harus kusandang dengan waktu yang sangat cepat.
Tanpa anak, tanpa isteri yang menemani. Ingin sekali aku pulang ke tanah
kelahiranku di daerah Gunung Kidul. Tapi apa mau dikata, orang-orang di seluruh
desaku sudah tidak mau menerima dan mengharapkan keberadaanku lagi. Mungkin ini
karena ulahku juga yang membuat mereka semua geram padaku. Akhirnya aku pun
transmigrasi mendadak ke sebuah kota kecil yang tidak terlalu nyaman bagiku.
***
Orang-orang biasa memanggilku Mbah Kromo. Ya, Mbah Kromo si dukun sakti
dari Gunung Kidul. Dari segala penjuru desa sudah tahu kalau aku ini memang
dukun sakti. Itu kata mereka. Padahal aku sendiri tidak merasa bisa
menyembuhkan orang. Segala macam penyakit bisa aku tangani. Ya, kalau sekedar
menangani penyakit sih pasti bisa, tapi kalau untuk menyembuhkan penyakit tidak
ada jaminannya. Kalau benar mereka bisa sembuh, mungkin itu hanya kebetulan
saja. Atau memang sudah waktunya untuk sembuh. Tapi aku tidak pernah peduli
dengan hal itu. Profesi sebagai seorang dukun memang menguntungkan. Siapa
sangka menjadi seorang dukun bisa memiliki rumah yang besar dan lengkap dengan
semua perabotan yang terbilang mewah. Makanya aku sangat senang menjadi seorang
dukun, walaupun hanya menjadi seorang dukun gadungan. Toh, mereka semua sudah
terlanjur percaya.
“Tok.. tok... tok... Kulonuwun Mbah Kromo”, terdengar suara
ketukan pintu dari depan rumah. Segera kusuruh si Parto anak semata wayangku
untuk membukakan pintu.
“Oo.... Mbak Lastri dan si Tole tho. Monggo, silakan masuk.
Tunggu sebentar, bapak lagi di belakang”, kata Parto pada mbak Lastri. Parto
sudah tahu kalau maksud kedatangan Lastri pasti untuk mengobatkan si Tole
anaknya. Segera aku temui Lastri dan anaknya.
“Oo... si Tole tho! Badannya panas lagi ya?”, tanyaku.
“Iya Mbah, badan si Tole mendadak panas lagi dan nangis terus. Padahal
tadi pagi si Tole sehat-sehat saja”, kata Lastri.
“Paling-paling cuma kecapean, biasa anak kecil”, jawabku dengan enteng.
Ya, enteng sekali, karena aku tidak punya keahlian khusus untuk mendeteksi
sebuah penyakit walaupun hanya penyakit panas biasa. Maka aku jawab sekenanya
saja, sesuai dengan logika orang awam. Segera kuambil segelas air putih lalu
kulantunkan jampi-jampi layaknya seorang dukun beneran. Lastri pun hanya
menatapku heran, dalam batinnya ia pasti bertanya-tanya tentang kalimat apa
yang aku ucapkan. Tapi aku yakin, ia pasti percaya seratus persen padaku.
“Siapa dulu? Mbah Kromo.......He....he......”, kataku dalam hati sambil
tertawa kecil.
“Nyo Nduk, minumkan air putih ini pada si Tole sekarang juga.
Besok pasti sudah sehat seperti semula”, kataku.
“Tombo teka loro lungo”, kata Lastri sambil meminumkan air putih
itu pada si Tole.
“Terima kasih banyak Mbah. Ini ada
sedikit uang untuk Mbah Kromo buat beli rokok.
“Wah, kok repot-repot pake uang
segala tho Las? Wong saya itu cuma menolong sesama tetangga saja kok, tidak
lebih dari itu”, kataku basa-basi.
Walaupun akhirnya kuterima juga uang itu.
Sebenarnya, memang uang itu yang aku harapkan, tidak lebih dari itu. Akhirnya
Lastri dan si Tole pun berpamitan sambil mengucapkan beribu-ribu terima kasih
padaku. Sekali lagi aku tertawa geli. Bahkan si Parto saja sampai tidak tahu
kalau praktek dukun yang aku jalankan ini hanyalah tipuan belaka.
***
Pada suatu malam yang amat hening,
namun sangat ramai oleh suara jangkrik dan binatang malam lainnya. Tiba-tiba
terdengar ketukan pintu dari luar rumah.
“Mbah Kromo, tolong Mbah.....
tolong”, terdengar suara seorang laki-laki dari depan pintu. Sepertinya aku
sangat kenal suara itu. Tak salah lagi, suara itu adalah suara Pak Jimin yang
anaknya suka mabuk-mabukan di pos ronda bersama gerombolannya. Lucu, lha
wong pos ronda kok malah buat mabok. Setelah aku intip dari jendela
ternyata tebakanku tidak meleset.
“Kowe tho Min? Ada apa Min?”,
kataku sambil membuka pintu.
“Anu... begini Mbah. Anak saya
kerasukan setan dan ngamuk-ngamuk tidak karuan di dalam rumah. Saya takut kalau
dia merusak seisi rumah Mbah”, kata Jimin ketakutan.
Nah,
apa aku bilang. Sekali lagi tebakanku tidak meleset. Mungkin aku lebih cocok
jadi peramal dari pada jadi dukun. Tidak mungkin kalau anaknya Jimin kerasukan
setan beneran. Paling-paling dia habis mabuk berat sama kawan-kawannya. Tapi, bola-bali
yang namanya rejeki nyasar, embat saja.
“Ooalah... kalau masalah usir-mengusir setan, Mbah Kromo jagonya”,
kataku menyombongkan diri. Sekali lagi, aku hanya bermain-main dengan logika
saja.
“Tolong kamu carikan buah kelapa hijau yang masih segar”, kataku pada
Jimin.
“Iya.. Mbah”, katanya.
Sekejap
kemudian Jimin sudah datang dengan membawa buah kelapa hijau yang baru saja dia
petik dari belakang rumah pak RT. Dengan modal asal komat-kamit saja, buah kelapa hijau telah aku
sulap menjadi obat pengusir setan.
“Nah... tolong minumkan air kelapa
ini sampai habis pada anakmu. Besok pagi pasti setannya sudah kabur”, kataku
dengan mantap.
“Terima kasih banyak Mbah. Oh ya,
ini ada sedikit uang sebagai tanda terima kasih saya pada Mbah. Tolong diterima
ya Mbah”, kata Jimin.
“Ya... mau bagaimana lagi. Karena
kamu memaksa, terpaksa uang ini saya terima”, kataku basa-basi.
Kemudian
Jimin berpamitan dan lekas pergi tergesa-gesa dengan membawa ramuan gombal
pengusir setan ala Mbah Kromo.
***
Matahari mulai menampakkan wajahnya, seolah-olah menebarkan senyum ke
seluruh penjuru desa. Burung-burung yang bertengger di dahan-dahan pohon jati
seakan-akan ikut menyambut kedatangannya. Para penduduk terlihat berlalu-lalang
melakukan aktifitasnya masing-masing. Ada yang ingin pergi ke sawah, ada yang
berangkat ke pasar, ada beberapa anak kecil yang hendak berangkat sekolah
dengan menaiki sepeda onthel, dan ada juga yang sedang sibuk menjemur
beras gabah di pelataran rumah. Tidak seperti aku yang kerjaannya hanya
duduk-duduk di teras rumah sambil menikmati beberapa batang rokok dan secangkir
teh manis di pagi hari. Wah, benar-benar sorga ndonya.
Hari ini adalah hari Kamis, dan besok adalah hari Jumat yang jatuh
tepat pada pasaran Kliwon. Seperti biasanya, setiap tigapuluh hari
sekali aku selalu melakukan tapa prihatin untuk memperdalam ilmuku.
Itupun aku lakukan hanya untuk pura-pura saja, biar seperti dukun beneran.
Setahu orang-orang aku biasa melakukannya di dalam gua di desa lain yang
letaknya agak jauh. Padahal di desa itu aku cuma mampir dan menginap di rumah
saudaraku yang punya tambak ikan kakap dan setiap bulannya selalu dipanen.
Alasanku sama saudaraku sih gampang sekali, biasanya aku selalu bilang pada
mereka kalau aku ingin membantu mereka memanen ikan. Toh, mereka juga sudah
tahu kalau kedatanganku ke rumah mereka tidak lain hanya untuk membantu memanen
ikan. Selain itu, sebagai seorang saudara dekat memang harus sering-sering
bersilaturahmi, agar tetap rukun satu sama lain. Sebenarnya isteriku juga sudah
tahu kalau aku pergi dari rumah bukanlah untuk bertapa. Tapi Parto tidak tahu
tentang ini. Setahunya, aku memang berprofesi sebagai dukun.
Segala sesuatunya sudah aku siapkan sebelumnya. Mulailah aku berangkat
untuk bertapa alias pergi ke rumah saudara dengan mengendarai sepeda motor baru
yang belum lama ini aku beli. Kalau dipikir-pikir memang lucu dan konyol. Lha
wong dukun mau pergi bertapa kok naik motor. Aku juga pernah ditanyai oleh
tetanggaku soal hal tersebut. Memangnya sepeda motor bisa masuk dalam hutan?
Lagipula di dalam hutan juga tidak ada petugas parkir motornya. Tapi pertanyaan
itu tak terlalu serius aku tanggapi, aku jawab saja sekenanya. Ya itulah kalau
berprofesi sebagai dukun di era globalisasi. Untung saja aku tidak punya
handphone. Karena di desaku belum dibangun menara tower untuk menangkap dan mengirim sinyal dari handphone. Jadi susah sekali
untuk mendapat sinyal. Kalau aku punya handphone malah semakin lucu sekali.
Dukun tradisional kok pakai handphone segala.
***
Matahari telah menampakkan parasnya
lagi. Hari ini adalah hari Jumat Kliwon yang sangat cerah. Waktunya untuk
pulang ke rumah, sebagai tanda kalau aku telah selesai melakukan ritual tapa
prihatin di dalam gua. Segera aku membereskan semua bekal yang sebelumnya
aku bawa dari rumah, yaitu sebuah tas dari kain yang berisi beberapa buah
pakaian ganti. Kemudian aku lekas berpamitan pada saudaraku sebelum pulang.
“To... Karto!! Aku pamit mau pulang
dulu. Yang di rumah mungkin sudah menunggu-nunggu”, kataku pada Karto, adikku.
“Ya Kang! Tapi tunggu sebentar, ini
ada beberapa kilo ikan kakap buat dimasak di rumah”, kata Karto sambil
memberikan bungkusan plastik hitam yang berisi ikan kakap segar.
“Terima kasih lho. Bulan depan kalau
aku ada waktu pasti aku datang ke sini lagi”, kataku. Lalu aku bergegas menaiki
motor dan langsung pulang ke rumah.
***
Tiba juga motorku memasuki gapura di
perbatasan desaku. Suasana siang ini tak terlihat seperti biasanya. Terlihat
beberapa bendera warna merah yang terbuat dari kertas minyak. Bendera itu
tertempel pada beberapa pohon yang terletak di sudut gang menuju rumahku. Ini
bukanlah bendera biasa yang sering dibuat orang-orang pada acara 17 Agustus.
Ya, karena bulan ini bukanlah bulan Agustus. Tapi bendera itu melambangkan
sebuah kematian. Tepat sekali, sebuah kematian di desaku. Setelah motorku tepat
melewati depan rumah Jimin, terlihat kerumunan orang yang sedang duduk-duduk di
kursi dengan dipayungi oleh terpal berwarna biru. Ini bukanlah sebuah pesta
pernikahan atau syukuran. Karena di dalam rumah Jimin terdengar suara isakan
tangis histeris. Tak salah lagi, aroma kematian semakin tercium dengan jelas
dari dalam rumah Jimin. Lalu kuhentikan laju motorku untuk mengetahui kejadian
yang sebenarnya terjadi pada keluarga Jimin. Namun apa yang terjadi, belum
sempat aku menginjakkan kakiku di pelataran rumahnya. Tiba-tiba beberapa orang
menatapku dengan tajam dan dengan muka geram. Dengan serentak mereka
meneriakiku.
“Dukun santet! Dukun santet!! Ya,
itu dia tukang dukun santetnya”, teriak orang-orang padaku. Aku terperanjat
bukan kepalang, bingung bercampur kalut.
“Usir Mbah Kromo dari desa kita”,
teriak salah satu dari mereka seperti berorasi.
“Setelah anaknya Jimin, siapa lagi yang akan dijadikan tumbal oleh
ilmunya Mbah Kromo? Apakah kita harus menunggu sampai ada korban selanjutnya?”.
Dari
perkataan mereka aku menjadi tahu kalau yang mati adalah anaknya Jimin. Tapi
yang membuat aku menjadi semakin bingung adalah mengapa mereka mengkait-kaitkan
kematiannya denganku. Mungkin mereka mengira bahwa kepergianku bertapa untuk
menambah ilmu dikaitkan dengan kematian anaknya Jimin sebagai tumbalnya. Ya,
aku semakin mengerti dan aku tak dapat mengelak lagi pada mereka. Tanpa
berpikir panjang aku pun bergegas lari sekencang-kencangnya meninggalkan desa
kelahiranku itu. Tapi teriakan itu masih saja terdengar dan bahkan semakin
ramai saja.
“Usir Mbah Kromo dari desa kita! Usir Mbah Kromo dari desa kita”.
***
Aku lari tanpa arah dan tujuan meninggalkan desa kelahiranku, dan
menuju sebuah tempat dimana suara bising kendaraan yang berlalu-lalang di
depanku membuatku jadi pusing. Apalagi ditambah dengan kepulan asap yang keluar
dari corong knalpot motor dan mobil yang membuatku jadi semakin pusing saja.
Terdamparlah aku di sebuah kota tanpa keramahan di dalamnya.
***
(Solo, 25-08-’07)
Penulis: Arifin Putra Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar