CELAH KEHIDUPAN
Sinar
matahari mulai menerobos setiap celah-celah dedaunan yang sebagian rantingnya
telah mengering dan jatuh ke taman. Sinarnya terlihat menerangi semua atap
rumah-rumah mewah yang setiap pagi tak pernah lekang oleh suara deru
mobil-mobil mewah. Sebuah perumahan mewah dan elite yang sebagian besar nampak
hijau di setiap pelataran rumahnya. Karena sebagian rumah itu memiliki taman
yang luas. Memang sangat mewah. Namun tak pernah ada keramahan antara rumah
yang satu dengan rumah yang lain. Jangankan terlihat saling berbicara, saling
menyapa saja tak pernah ada. Itulah kehidupan di sebuah perumahan mewah.
“Brem... brem... brem...”. Karjo menghidupkan mobil sedan mewahnya.
Namun, mobil itu bukanlah miliknya sendiri. Tapi, mobil itu milik majikannya.
Ya, Karjo hanyalah seorang sopir pribadi. Sudah 5 tahun ia bekerja pada pak
Hendro, seorang pengusaha sukses yang mempunyai beberapa bisnis di kota ini.
Entah bisnis apa yang dijalankan oleh majikannya. Yang ia tahu hanyalah
mengantar dan mengantar kemanapun majikannya pergi.
“Karjo, ayo kita berangkat. Sudah siap?”, kata pak Hendro.
“Sekarang Pak? Baik Pak, kebetulan mobilnya sudah saya panaskan.
Tinggal berangkat saja kok Pak”, kata Karjo.
Tanpa
banyak percakapan mereka langsung meluncur menuju kantor pak Hendro. Tak pernah
terdengar pak Hendro bertanya sesuatu tentang diri Karjo. Yang sering ia dengar
hanyalah pertanyaan “Sudah siap?”, begitu setiap harinya. Pernah suatu ketika
Karjo basi-basi bertanya pada pak Hendro perihal pekerjaannya. Tapi pak Hendro
hanya menjawab.
“Tak perlu kau tanya-tanya tentang pekerjaanku. Toh jawaban itu tidak
terlalu penting bagimu? Tugasmu hanya mengantar aku, jadi jangan tanya
macam-macam dech”.
Karjo
pun hanya diam saja mendengar jawaban majikannya itu. Sejak peristiwa itu tak
pernah ia bertanya pada majikannya, walaupun sekedar basa-basi. Karjo sadar
betul bahwa ia hanyalah seorang sopir. Ia tak mau dipecat gara-gara pertanyaan
konyol. Ia juga tak mau mengecewakan anak-isterinya yang ada di kampung.
Mobil itu telah memasuki halaman kantor. Beberapa petugas satpam
terlihat mengangguk sembari memberi salam pada pak Hendro. Aneh memang, sesama
ciptaan Tuhan saja harus pakai acara tunduk-menunduk segala, itu teralu
berlebihan. Tapi itulah kehidupan, siapa yang kaya, ia yang berkuasa.
Setelah pak Hendro memasuki pintu depan kantornya, Karjo langsung
memutar mobilnya keluar dari halaman kantor dan lekas balik menuju rumah
majikannya. Karena ia harus mengantar Bu Sarah, isteri pak Hendro ke kantor.
Memang, Bu Sarah bukanlah seorang pengusaha atau pegawai kantoran. Tetapi, ia
seorang aktivis di sebuah organisasi wanita. Sebuah organisasi yang selalu
meneriakkan dan mengatas namakan emansipasi wanita. Tapi, Karjo tak terlalu
ingin tahu banyak tentang kegiatan Bu Sarah. Yang ia tahu hanyalah mengantar
dan menjaga rumah, tak lebih dari itu.
Setelah selesai mengantar Bu Sarah, Karjo masih harus mengantar Devi ke
sekolah. Devi adalah anak semata wayang pak Hendro dan Bu Sarah. Ia memang
tidak seperti anak sekolah pada umumnya yang selalu masuk sekolah pada pagi
hari. Ya, karena Devi masuk di sekolah International. Sebuah sekolah elite yang
menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Masuknya siang,
pulangnya sore. Hanya anak orang berduit saja yang bisa sekolah di sana. Jaman
sekarang, orang pintar yang tidak punya uang selalu tertinggal oleh orang yang
bodoh tapi berduit.
***
Setelah mengantarkan ketiga
majikannya, Karjo balik lagi ke rumah majikannya. Matahari mulai merangkak ke
atas. Sinarnya semakin terang dan semakin panas saja. Karjo terlihat sedang
tidur-tiduran di teras rumah majikannya. Sederet kursi sofa yang empuk dan
angin yang datang sepoi-sepoi cukup untuk meninabobokkan Karjo dalam beberapa
saat. Namun suara lolongan anjing di rumah tetangga membuat Karjo terjaga
kembali. Suasana sekejap berubah menjadi hening.
Seketika Karjo teringat dengan kampung halamannya. Dimana ia menjadi
seorang petani sebelum ia pergi ke kota untuk bekerja sebagai seorang sopir.
Sawah yang digarapnya adalah sawah warisan ayahnya setelah meninggal dunia
karena sakit keras. Sebenarnya hasil dari penen saja belum cukup untuk
menghidupi keluarganya. Maka dengan terpaksa Karjo harus meminjam uang pada
Suwondo tukang bank plecit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Sebenarnya Karjo tahu kalau bunga hutang bank plecit itu bisa mencekik
lehernya pelan-pelan. Tapi, itulah jalan satu-satunya untuk terus bertahan
hidup. Miris memang, tapi itulah kehidupan Karjo di kampung.
Setiap ayam jago yang berada dalam kandang mulai berkokok, seketika itu
juga ia bangun. Ya, pagi-pagi benar ia sudah harus bangun. Sembahyang, kemudian
mempersiapkan peralatan untuk menggarap sawah. Tak ada suara bising mobil yang
menderu-deru setiap paginya. Punya sepeda motor di kampung saja sudah terlihat
mewah. Tapi jangankan sepeda motor, punya sepeda onthel saja Karjo sudah
bersyukur. Sepeda onthel yang bisa membantu mengantarkannya ke sawah
tanpa harus jalan kaki.
Keramahan selalu tercipta setiap waktu. Setiap hari Karjo selalu
merasakan hangatnya keramahan itu. Setiap hari pula ia selalu mendengar tegur
sapa dari setiap tetangga.
“Wah, apa kabar Jo? Rajin benar, pagi-pagi gini sudah ke sawah”, kata
Jimin tetangga dekat Karjo.
“Ia Min. Kalau kesiangan, tanah sawahnya keburu kering kena panas”,
canda Karjo.
“Ha.... ha..... ha......”, mereka berdua saling tertawa ringan. Sebuah
tawa sebagai tanda keramahan sekaligus simbol persahabatan.
Terlihat beberapa anak kecil yang
berjalan bergerombol dan serempak mengenakan seragam putih merah. Mereka saling
bercanda dan saling tertawa akrab khas anak kecil. Ya, mereka adalah anak-anak
kecil yang hendak berangkat menuju sekolah untuk mencari ilmu. Ilmu yang
nantinya bisa berguna bagi nusa dan bangsa. Itulah harapan orang tua mereka.
Tak terlihat sebuah kemewahan pada diri anak-anak itu. Tak ada sepatu bagus
yang menghiasi kaki-kaki kecil mereka. Tak ada tas bagus yang menempel pada
punggung-punggung mereka. Tak ada sebuah pita warna-warni yang menempel dan
menghiasi helai-helai rambut mereka. Namun, yang membuat mereka terlihat mewah
adalah sebuah keramahan polos yang tercipta pada setiap tingkah laku mereka.
Tak ada mobil mewah yang mengantar mereka menuju ke sekolah. Hanya semangatlah
yang mengantar mereka menuju gerbang sekolah.
***
Suatu ketika Karjo ditawari oleh kakak iparnya untuk bekerja di kota
sebagai seorang sopir pribadi sekaligus penjaga rumah di perumahan elite.
Kebetulan kakak ipar Karjo yang bernama Sardi juga bekerja di kota sebagai
sopir pribadi teman bisnisnya pak Hendro. Kemudian pak Hendro menyuruh Sardi
untuk mencarikan seorang sopir pribadi sekaligus penjaga rumah yang jujur. Maka
Sardi teringat pada adik iparnya yang bekerja sebagai petani di kampungnya.
Siapa tahu dengan pekerjaan itu nasib Karjo bisa berubah.
“Tapi saya tidak pernah menyetir mobil mewah Kang!! Kan dulu saya cuma
sopir truk tho Kang. Itu saja cuma satu tahun, setelah itu saya berhenti”,
kata Karjo saat ditawari pekerjaan itu.
“Alah, itu sih masalah gampang. Setelah kamu bekerja di sana, nanti
kamu juga akan terbiasa menyetir dengan mobil mewah”, kata Sardi meyakinkan.
“Ingat Jo, yang dicari hanyalah seorang sopir sekaligus penjaga rumah
yang jujur. Dan aku sangat percaya padamu Jo”, tambah Sardi.
Akhirnya Karjo menyetujui dan menerima pekerjaan itu. Terbukti, selama
beberapa tahun berkerja di kota, Karjo sudah mampu melunasi hutangnya pada bank
plecit. Bahkan sedikit-sedikit ia telah mampu membangun rumahnya menjadi
sebuah rumah dari tembok yang asri namun sangat sederhana. Anak yang
satu-satunya ia punya, telah duduk di bangku SD tanpa harus kesulitan untuk
membiayainya. Pokoknya, nasib Karjo yang sekarang sudah berubah lebih baik dari
pada dulu.
***
“Tit...tit... tit....... tit... tit........... tit... tit..”. Terdengar
suara handphone Karjo berbunyi. Ia pun langsung tersentak dan bangun dari
lamunannya. Dengan cepat juga ia mengeluarkan handphone dari saku celananya.
Dilihatnya tajam-tajam pada layarnya, di situ tertulis nama “Bu Sarah”. Karjo pun
langsung mengangkatnya.
“Hallo... Ada apa Bu?”, tanya Karjo.
“Tolong jemput saya di kantor sekarang ya Jo”, kata Bu Sarah.
“Baik Bu, sebentar lagi saya akan sampai di kantor Ibu”, jawab Karjo.
“Ya, udah. Cepet ya Jo”, suara Bu Sarah disusul dengan suara telephone
ditutup.
“Tut........................................................”.
***
(Solo, 03-04-‘08)
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum SOLOPOS tahun 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar