Senin, 23 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "CELAH KEHIDUPAN"

CELAH KEHIDUPAN

            Sinar matahari mulai menerobos setiap celah-celah dedaunan yang sebagian rantingnya telah mengering dan jatuh ke taman. Sinarnya terlihat menerangi semua atap rumah-rumah mewah yang setiap pagi tak pernah lekang oleh suara deru mobil-mobil mewah. Sebuah perumahan mewah dan elite yang sebagian besar nampak hijau di setiap pelataran rumahnya. Karena sebagian rumah itu memiliki taman yang luas. Memang sangat mewah. Namun tak pernah ada keramahan antara rumah yang satu dengan rumah yang lain. Jangankan terlihat saling berbicara, saling menyapa saja tak pernah ada. Itulah kehidupan di sebuah perumahan mewah.
“Brem... brem... brem...”. Karjo menghidupkan mobil sedan mewahnya. Namun, mobil itu bukanlah miliknya sendiri. Tapi, mobil itu milik majikannya. Ya, Karjo hanyalah seorang sopir pribadi. Sudah 5 tahun ia bekerja pada pak Hendro, seorang pengusaha sukses yang mempunyai beberapa bisnis di kota ini. Entah bisnis apa yang dijalankan oleh majikannya. Yang ia tahu hanyalah mengantar dan mengantar kemanapun majikannya pergi.
“Karjo, ayo kita berangkat. Sudah siap?”, kata pak Hendro.
“Sekarang Pak? Baik Pak, kebetulan mobilnya sudah saya panaskan. Tinggal berangkat saja kok Pak”, kata Karjo.
Tanpa banyak percakapan mereka langsung meluncur menuju kantor pak Hendro. Tak pernah terdengar pak Hendro bertanya sesuatu tentang diri Karjo. Yang sering ia dengar hanyalah pertanyaan “Sudah siap?”, begitu setiap harinya. Pernah suatu ketika Karjo basi-basi bertanya pada pak Hendro perihal pekerjaannya. Tapi pak Hendro hanya menjawab.
“Tak perlu kau tanya-tanya tentang pekerjaanku. Toh jawaban itu tidak terlalu penting bagimu? Tugasmu hanya mengantar aku, jadi jangan tanya macam-macam dech”.
Karjo pun hanya diam saja mendengar jawaban majikannya itu. Sejak peristiwa itu tak pernah ia bertanya pada majikannya, walaupun sekedar basa-basi. Karjo sadar betul bahwa ia hanyalah seorang sopir. Ia tak mau dipecat gara-gara pertanyaan konyol. Ia juga tak mau mengecewakan anak-isterinya yang ada di kampung.
Mobil itu telah memasuki halaman kantor. Beberapa petugas satpam terlihat mengangguk sembari memberi salam pada pak Hendro. Aneh memang, sesama ciptaan Tuhan saja harus pakai acara tunduk-menunduk segala, itu teralu berlebihan. Tapi itulah kehidupan, siapa yang kaya, ia yang berkuasa.
Setelah pak Hendro memasuki pintu depan kantornya, Karjo langsung memutar mobilnya keluar dari halaman kantor dan lekas balik menuju rumah majikannya. Karena ia harus mengantar Bu Sarah, isteri pak Hendro ke kantor. Memang, Bu Sarah bukanlah seorang pengusaha atau pegawai kantoran. Tetapi, ia seorang aktivis di sebuah organisasi wanita. Sebuah organisasi yang selalu meneriakkan dan mengatas namakan emansipasi wanita. Tapi, Karjo tak terlalu ingin tahu banyak tentang kegiatan Bu Sarah. Yang ia tahu hanyalah mengantar dan menjaga rumah, tak lebih dari itu.
Setelah selesai mengantar Bu Sarah, Karjo masih harus mengantar Devi ke sekolah. Devi adalah anak semata wayang pak Hendro dan Bu Sarah. Ia memang tidak seperti anak sekolah pada umumnya yang selalu masuk sekolah pada pagi hari. Ya, karena Devi masuk di sekolah International. Sebuah sekolah elite yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya. Masuknya siang, pulangnya sore. Hanya anak orang berduit saja yang bisa sekolah di sana. Jaman sekarang, orang pintar yang tidak punya uang selalu tertinggal oleh orang yang bodoh tapi berduit.
***
            Setelah mengantarkan ketiga majikannya, Karjo balik lagi ke rumah majikannya. Matahari mulai merangkak ke atas. Sinarnya semakin terang dan semakin panas saja. Karjo terlihat sedang tidur-tiduran di teras rumah majikannya. Sederet kursi sofa yang empuk dan angin yang datang sepoi-sepoi cukup untuk meninabobokkan Karjo dalam beberapa saat. Namun suara lolongan anjing di rumah tetangga membuat Karjo terjaga kembali. Suasana sekejap berubah menjadi hening.
Seketika Karjo teringat dengan kampung halamannya. Dimana ia menjadi seorang petani sebelum ia pergi ke kota untuk bekerja sebagai seorang sopir. Sawah yang digarapnya adalah sawah warisan ayahnya setelah meninggal dunia karena sakit keras. Sebenarnya hasil dari penen saja belum cukup untuk menghidupi keluarganya. Maka dengan terpaksa Karjo harus meminjam uang pada Suwondo tukang bank plecit untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Sebenarnya Karjo tahu kalau bunga hutang bank plecit itu bisa mencekik lehernya pelan-pelan. Tapi, itulah jalan satu-satunya untuk terus bertahan hidup. Miris memang, tapi itulah kehidupan Karjo di kampung.
Setiap ayam jago yang berada dalam kandang mulai berkokok, seketika itu juga ia bangun. Ya, pagi-pagi benar ia sudah harus bangun. Sembahyang, kemudian mempersiapkan peralatan untuk menggarap sawah. Tak ada suara bising mobil yang menderu-deru setiap paginya. Punya sepeda motor di kampung saja sudah terlihat mewah. Tapi jangankan sepeda motor, punya sepeda onthel saja Karjo sudah bersyukur. Sepeda onthel yang bisa membantu mengantarkannya ke sawah tanpa harus jalan kaki.
Keramahan selalu tercipta setiap waktu. Setiap hari Karjo selalu merasakan hangatnya keramahan itu. Setiap hari pula ia selalu mendengar tegur sapa dari setiap tetangga.
“Wah, apa kabar Jo? Rajin benar, pagi-pagi gini sudah ke sawah”, kata Jimin tetangga dekat Karjo.
“Ia Min. Kalau kesiangan, tanah sawahnya keburu kering kena panas”, canda Karjo.
“Ha.... ha..... ha......”, mereka berdua saling tertawa ringan. Sebuah tawa sebagai tanda keramahan sekaligus simbol persahabatan.
            Terlihat beberapa anak kecil yang berjalan bergerombol dan serempak mengenakan seragam putih merah. Mereka saling bercanda dan saling tertawa akrab khas anak kecil. Ya, mereka adalah anak-anak kecil yang hendak berangkat menuju sekolah untuk mencari ilmu. Ilmu yang nantinya bisa berguna bagi nusa dan bangsa. Itulah harapan orang tua mereka. Tak terlihat sebuah kemewahan pada diri anak-anak itu. Tak ada sepatu bagus yang menghiasi kaki-kaki kecil mereka. Tak ada tas bagus yang menempel pada punggung-punggung mereka. Tak ada sebuah pita warna-warni yang menempel dan menghiasi helai-helai rambut mereka. Namun, yang membuat mereka terlihat mewah adalah sebuah keramahan polos yang tercipta pada setiap tingkah laku mereka. Tak ada mobil mewah yang mengantar mereka menuju ke sekolah. Hanya semangatlah yang mengantar mereka menuju gerbang sekolah.
***
Suatu ketika Karjo ditawari oleh kakak iparnya untuk bekerja di kota sebagai seorang sopir pribadi sekaligus penjaga rumah di perumahan elite. Kebetulan kakak ipar Karjo yang bernama Sardi juga bekerja di kota sebagai sopir pribadi teman bisnisnya pak Hendro. Kemudian pak Hendro menyuruh Sardi untuk mencarikan seorang sopir pribadi sekaligus penjaga rumah yang jujur. Maka Sardi teringat pada adik iparnya yang bekerja sebagai petani di kampungnya. Siapa tahu dengan pekerjaan itu nasib Karjo bisa berubah.
“Tapi saya tidak pernah menyetir mobil mewah Kang!! Kan dulu saya cuma sopir truk tho Kang. Itu saja cuma satu tahun, setelah itu saya berhenti”, kata Karjo saat ditawari pekerjaan itu.
“Alah, itu sih masalah gampang. Setelah kamu bekerja di sana, nanti kamu juga akan terbiasa menyetir dengan mobil mewah”, kata Sardi meyakinkan.
“Ingat Jo, yang dicari hanyalah seorang sopir sekaligus penjaga rumah yang jujur. Dan aku sangat percaya padamu Jo”, tambah Sardi.
Akhirnya Karjo menyetujui dan menerima pekerjaan itu. Terbukti, selama beberapa tahun berkerja di kota, Karjo sudah mampu melunasi hutangnya pada bank plecit. Bahkan sedikit-sedikit ia telah mampu membangun rumahnya menjadi sebuah rumah dari tembok yang asri namun sangat sederhana. Anak yang satu-satunya ia punya, telah duduk di bangku SD tanpa harus kesulitan untuk membiayainya. Pokoknya, nasib Karjo yang sekarang sudah berubah lebih baik dari pada dulu.
***
“Tit...tit... tit....... tit... tit........... tit... tit..”. Terdengar suara handphone Karjo berbunyi. Ia pun langsung tersentak dan bangun dari lamunannya. Dengan cepat juga ia mengeluarkan handphone dari saku celananya. Dilihatnya tajam-tajam pada layarnya, di situ tertulis nama “Bu Sarah”. Karjo pun langsung mengangkatnya.
“Hallo... Ada apa Bu?”, tanya Karjo.
“Tolong jemput saya di kantor sekarang ya Jo”, kata Bu Sarah.
“Baik Bu, sebentar lagi saya akan sampai di kantor Ibu”, jawab Karjo.
“Ya, udah. Cepet ya Jo”, suara Bu Sarah disusul dengan suara telephone ditutup.
“Tut........................................................”.
***
        (Solo, 03-04-‘08)


Penulis: Arifin Putra Solo
*Cerpen ini pernah dimuat di Harian Umum SOLOPOS tahun 2008 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar