KHAYALAN SASTRO
Sudah
hampir dua tahun lebih aku sudah tidak lagi bekerja, sejak ditutupnya judi togel di desaku. Kalau dirasa-rasa memang tak adil, lha wong cari duit buat
makan saja kok dilarang. Tapi kalau dipikir-pikir, judi togel memang tidak boleh ada di negara kita. Kata orang-orang sih, melanggar
hukum dan agama. Tidak seperti di negara barat sana, judi malah didukung sama
pemerintah. Lha kok malah terbalik-balik. Tapi tak apalah, mungkin
rejekiku bukan di situ tempatnya, mungkin saja di tempat lain. Mungkin saja
jadi pejabat atau jadi pekerja kantoran. Ah, gendheng apa, lha wong
sekolah saja hanya tamat SD. Itupun SD swasta di pelosok desa. Maklum, orang
tuaku dulu cuma petani biasa. Sawah yang digarapnya pun milik orang lain, yaitu
milik pak Sentono yang juga seorang juragan kayu gelondhong di desaku. Tapi aku tak akan bercerita banyak tentang mereka, karena
mereka semua sudah mujur ngalor.
“He...
Mas! Pagi-pagi kok sudah melamun, mikirin apa? Apa nggak bosan tiap hari cuma
duduk-duduk sambil merokok, terus melamun. Mbok ya cari kerja sana!”,
suara isteriku membuyarkan semua lamunanku. Aku pun cuma diam saja. Memang,
sejak aku tidak lagi bekerja, isteriku jadi sering marah-marah padaku.
“Mas!
Sini tho... mbok ya dibantu, ngambil botol jamu di dapur”. Kemudian
dengan terpaksa aku bangun untuk membantu isteriku menata botol-botol yang berisi
jamu. Ya, selama ini isterikulah yang telah menopang hidup kami sebagai penjual jamu gendong. Tapi jamu gendong milik isteriku sangat
terkenal. Jika ada orang yang bertanya nama isteriku, mbak Sri Rejeki penjual jamu gendong, semua orang pasti tahu.
“Mak,
minta uang saku Mak”, suara Sholeh, anak semata wayang kami. Ya, kami memiliki
satu orang anak yang sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA. Anak yang nantinya
bisa berguna bagi orang tuanya, itulah harapan kami. Harapan kami pada Sholeh.
Setelah isteriku memberikan beberapa lembar uang ribuan pada Sholeh, mereka
langsung pergi dengan urusannya masing-masing. Isteriku berangkat kerja cari
uang, sementara Sholeh berangkat sekolah cari ilmu. Ilmu yang nantinya bisa
untuk cari uang pastinya.
Kusandarkan
lagi tubuhku di atas kursi bambu sambil menghisap rokok tengwe alias nglinthing
dewe. Maklum, harga rokok sekarang memang mahal, bahkan melebihi harga
beras. Tak heran kalau rokok bisa menyebabkan kanker atau kantong kering untuk
orang semacam aku ini. Tapi kalau untuk orang kaya sih, rokok bisa menyebabkan
kanker beneran. Di atas kursi bambu itulah setiap hari kulayangkan pikiranku
sejauh-jauhnya, setinggi-tingginya sampai aku sendiri tak bisa meraihnya.
Berkhayal membuat aku lupa waktu, bahkan untuk menghadap Gusti Maha Agung pun
aku sampai lupa. Mungkin setan telah membuatku lupa pada-Nya.
“Kulo
nuwun Pak Sastro”, terdengar suara dari depan rumahku. Sepertinya aku sudah
hafal suara itu. Tak salah lagi, suara itu adalah suara mas Tedi, penagih
hutang dari sebuah bank, bank plecit istilah Jawanya. Rasanya seperti
dicekik kawat berduri jika mendengar suara mas Tedi mengucapkan kata kulo
nuwun.
“Monggo,
silahkan masuk”, jawabku sambil tersenyum. Aku tahu bahwa senyumku itu hanya
pura-pura saja. Lha wong ditagih hutang kok bisa tersenyum. Kalau senyum
kecut sih pasti.
“Dobel
lho Pak”, kata mas Tedi tanpa pembukaan.
“Maaf,
hari ini kosong lagi ya Mas, minggu depan saja sekalian dobel tiga”, jawabku
sambil tersenyum. Tanpa dikomando pun mas Tedi langsung ngeloyor pergi tanpa
pamit. Masa bodoh sama bank plecit, buat makan saja pas-pasan. Apalagi
buat bayar hutang, dobel lagi. Tapi itu juga salahku. Kenapa dulu aku meminjam
uang padanya sambil memelas. Sekarang aku pun tak sanggup membayarnya. Padahal
aku tahu kalau bank plecit itu bunganya sangat tinggi. Bahkan bunga bank
swasta pun kalah tingginya.
***
Kemudian kubaringkan tubuhku
di atas kursi bambu itu sambil kulayangkan khayalanku sejauh-jauhnya,
setinggi-tingginya. Dalam khayalanku itu kubayangkan seandainya aku jadi orang
kaya. Naik mobil sedan mewah, berdompet tebal yang berisi uang jutaan rupiah
dan beberapa kartu kredit juga kartu ATM, yang pasti bukan ATM bank plecit.
Di depan rumahku yang besar dan megah terdapat taman bermain yang sangat luas.
Bahkan luasnya melebihi lapangan sepak bola di stadion. Kurebahkan tubuhku di atas kasur pegas
dengan selimut yang tebal seperti handuk. Kemudian kusuruh beberapa orang pembantu untuk
sekedar memijit-mijit badanku yang sedikit capek. Karena kerjaku seharian hanya
duduk-duduk di kursi DPR. Tetapi bukan nasib rakyat yang aku perjuangkan di kursi itu.
Melainkan nasib keluarga dan nasib partai yang telah mengusungku untuk menduduki kursi jabatan anggota DPR. Persetan
dengan rakyat kecil, yang penting nasibku tidak seperti mereka.
***
Matahari
terlihat sudah mulai condong ke barat. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 3 sore. Kupandangi seluruh
sudut rumahku, ternyata masih sama, yaitu rumah kecil yang terbuat dari tembok
yang masih kasar. Kurogoh kantong celanaku dan kubuka dompetku, ternyata masih
sama yaitu dompet kulit yang berisi beberapa lembar uang ribuan dan KTP. Kupandangi juga
halaman rumahku, ternyata masih sama yaitu halaman kecil yang banyak ditumbuhi
rumput liar serta beberapa bunga yang tak wangi baunya. Kemudian kulihat Sholeh
yang sudah duduk di depan TV dengan santainya.
“Lho,
sudah pulang tho Le?”, tanyaku pada Sholeh.
“Sudah
dari tadi Pak”, jawabnya.
“Kapan?”,
tanyaku lagi.
“Tadi,
ketika Bapak masih tidur-tiduran di kursi depan”, jawabnya.
Kemudian aku bergegas menuju meja makan untuk
mengisi perutku yang sudah keroncongan. Kubuka perlahan-lahan tutup makanannya.
Tetapi yang kulihat hanya nasi dan sepiring tempe. Ini masih mendingan daripada
nasi tanpa lauk. Kuambil sepiring nasi dan lauk secukupnya. Lalu kumasukkan
nasi itu suap demi suap ke dalam mulutku. Kupaksakan nasi itu masuk ke dalam
kerongkonganku sedikit demi sedikit.
“Ini
aku bawakan lauk yang enak Mas”, suara isteriku dari belakang yang sempat
mengagetkanku. Ditaruhnya sebungkus lauk yang terlihat agak berbeda dari
biasanya.
“Weleh-weleh...
dodo menthok? Dari mana ini?”, tanyaku sedikit tak percaya.
“Ya
beli dong Mas, masak dapat di jalan”, jawabnya sedikit bercanda.
“Aku
tahu, maksudku uang dari mana?”, tanyaku.
“Hari
ini daganganku habis semua. Ya sekali-kali makan yang agak senak dikit”, katanya.
“Mbok
ya tiap hari makan enak kayak gini”, kataku.
“He
Mas, wong kamu saja nggak kerja kok, minta makan enak terus”, kata
isteriku agak sewot. Tapi aku cuma diam. Aku memang rumangsa kalau aku
tidak bisa memberikan apa-apa pada keluargaku.
***
Kelihatannya
matahari sudah mulai tenggelam. Terdengar suara adzan bersahut-sahutan dari
masjid di sekitar rumahku, seakan-akan tak mau kalah untuk mengagung-agungkan
nama Gusti Maha Agung. Berbeda dengan aku yang tak pernah menyebut nama-Nya.
Jika sedang tertimpa musibah, bukan istighfar yang aku ucapkan. Tapi malah mingsuh-mingsuh
nggak karuan. Mungkin sudah saatnya aku mengakhiri kekhafiranku, mengakhiri
kedzalimanku dan mulai bersujud pada-Nya. Ya, mungkin inilah saatnya untukku
bertobat.
Kutarik
pancuran genthong di belakang rumah. Kubasuh mukaku dan seluruh anggota
badanku. Kali ini aku benar-benar basah oleh air wudhu. Tak kusangka, rasanya
sungguh segar, bahkan mengalahkan segarnya udara di Tawangmangu. Lalu kuambil
sarung yang terlipat rapi di dalam almari. Sarung itu berada di tumpukan paling
bawah dan beraroma khas oyot setu. Kuambil juga sebuah sajadah di kamar
Sholeh. Mulailah kukerjakan sholat untuk menyembah Gusti Maha Agung yaitu Gusti
Allah. Setelah selesai Sholat hati ini terasa tentrem dan ayem
***
“Kulo
nuwun”, terdengar suara dari depan rumah.
“Monggo”,
kujawab dari dalam rumah.
“Oalah,
Pak RT tho! Silahkan masuk Pak. Tumben Pak, ada perlu apa Pak?”, tanyaku
penasaran.
Setelah Pak RT menaruh pantatnya di kursi bambu, ia
langsung menceritakan maksud kedatangannya. Setelah ia menceritakannya secara
gamblang, betapa kaget sekali hati ini. Kaget bercampur senang dan bahagia.
Ternyata Pak
RT menawariku sebuah pekerjaan, yaitu bekerja di sebuah restorant miliknya.
Restorant itu sangat mewah dan sangat
terkenal di ibukota. Selain dikenal sebagai orang kaya, Pak RT juga dikenal sebagai orang yang sangat baik
dan nyah-nyoh. Beribu-ribu terima kasih aku ucapkan pada Pak RT. Eh bukan,
berjuta-juta terima kasih. Ah, pokoknya banyak sekali hingga aku tak bisa
menghitungnya.
Setelah
Pak RT pamit
pulang, kuceritakan maksud kedatangan Pak RT tadi pada Sri dan Sholeh. Betapa senang
mereka mendengarnya. Dengan pekerjaan itu kuharap aku bisa merubah hidupku
sedikit demi sedikit. Tentunya kehidupan yang lebih baik daripada sekarang.
Akan kubayar semua hutangku pada mas Tedi. Kemudian akan kutabung sebagian
gajiku untuk membeli kebutuhan rumah tanggaku. Mungkin dua atau tiga tahun
kedepan aku bisa membeli sepeda motor. Atau mungkin, setelah lulus SMA Sholeh
akan aku kuliahkan di universitas negeri, kalau perlu sampai S2. Yang penting
hidupku nanti sudah tidak sesulit sekarang ini. Semoga saja khayalanku ini akan
menjadi sebuah kenyataan.
***
Solo,
04-03-07
Penulis: Arifin Putra Solo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar