Selasa, 24 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "KHAYALAN SASTRO"



KHAYALAN SASTRO


            Sudah hampir dua tahun lebih aku sudah tidak lagi bekerja, sejak ditutupnya judi togel di desaku. Kalau dirasa-rasa memang tak adil, lha wong cari duit buat makan saja kok dilarang. Tapi kalau dipikir-pikir, judi togel memang tidak boleh ada di negara kita. Kata orang-orang sih, melanggar hukum dan agama. Tidak seperti di negara barat sana, judi malah didukung sama pemerintah. Lha kok malah terbalik-balik. Tapi tak apalah, mungkin rejekiku bukan di situ tempatnya, mungkin saja di tempat lain. Mungkin saja jadi pejabat atau jadi pekerja kantoran. Ah, gendheng apa, lha wong sekolah saja hanya tamat SD. Itupun SD swasta di pelosok desa. Maklum, orang tuaku dulu cuma petani biasa. Sawah yang digarapnya pun milik orang lain, yaitu milik pak Sentono yang juga seorang juragan kayu gelondhong di desaku. Tapi aku tak akan bercerita banyak tentang mereka, karena mereka semua sudah mujur ngalor.

            “He... Mas! Pagi-pagi kok sudah melamun, mikirin apa? Apa nggak bosan tiap hari cuma duduk-duduk sambil merokok, terus melamun. Mbok ya cari kerja sana!”, suara isteriku membuyarkan semua lamunanku. Aku pun cuma diam saja. Memang, sejak aku tidak lagi bekerja, isteriku jadi sering marah-marah padaku.

            “Mas! Sini tho... mbok ya dibantu, ngambil botol jamu di dapur”. Kemudian dengan terpaksa aku bangun untuk membantu isteriku menata botol-botol yang berisi jamu. Ya, selama ini isterikulah yang telah menopang hidup kami sebagai penjual jamu gendong. Tapi jamu gendong milik isteriku sangat terkenal. Jika ada orang yang bertanya nama isteriku, mbak Sri Rejeki penjual jamu gendong, semua orang pasti tahu.

            “Mak, minta uang saku Mak”, suara Sholeh, anak semata wayang kami. Ya, kami memiliki satu orang anak yang sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA. Anak yang nantinya bisa berguna bagi orang tuanya, itulah harapan kami. Harapan kami pada Sholeh. Setelah isteriku memberikan beberapa lembar uang ribuan pada Sholeh, mereka langsung pergi dengan urusannya masing-masing. Isteriku berangkat kerja cari uang, sementara Sholeh berangkat sekolah cari ilmu. Ilmu yang nantinya bisa untuk cari uang pastinya.

            Kusandarkan lagi tubuhku di atas kursi bambu sambil menghisap rokok tengwe alias nglinthing dewe. Maklum, harga rokok sekarang memang mahal, bahkan melebihi harga beras. Tak heran kalau rokok bisa menyebabkan kanker atau kantong kering untuk orang semacam aku ini. Tapi kalau untuk orang kaya sih, rokok bisa menyebabkan kanker beneran. Di atas kursi bambu itulah setiap hari kulayangkan pikiranku sejauh-jauhnya, setinggi-tingginya sampai aku sendiri tak bisa meraihnya. Berkhayal membuat aku lupa waktu, bahkan untuk menghadap Gusti Maha Agung pun aku sampai lupa. Mungkin setan telah membuatku lupa pada-Nya.

            Kulo nuwun Pak Sastro”, terdengar suara dari depan rumahku. Sepertinya aku sudah hafal suara itu. Tak salah lagi, suara itu adalah suara mas Tedi, penagih hutang dari sebuah bank, bank plecit istilah Jawanya. Rasanya seperti dicekik kawat berduri jika mendengar suara mas Tedi mengucapkan kata kulo nuwun.

            Monggo, silahkan masuk”, jawabku sambil tersenyum. Aku tahu bahwa senyumku itu hanya pura-pura saja. Lha wong ditagih hutang kok bisa tersenyum. Kalau senyum kecut sih pasti.

            “Dobel lho Pak”, kata mas Tedi tanpa pembukaan.
            “Maaf, hari ini kosong lagi ya Mas, minggu depan saja sekalian dobel tiga”, jawabku sambil tersenyum. Tanpa dikomando pun mas Tedi langsung ngeloyor pergi tanpa pamit. Masa bodoh sama bank plecit, buat makan saja pas-pasan. Apalagi buat bayar hutang, dobel lagi. Tapi itu juga salahku. Kenapa dulu aku meminjam uang padanya sambil memelas. Sekarang aku pun tak sanggup membayarnya. Padahal aku tahu kalau bank plecit itu bunganya sangat tinggi. Bahkan bunga bank swasta pun kalah tingginya.
***

Kemudian kubaringkan tubuhku di atas kursi bambu itu sambil kulayangkan khayalanku sejauh-jauhnya, setinggi-tingginya. Dalam khayalanku itu kubayangkan seandainya aku jadi orang kaya. Naik mobil sedan mewah, berdompet tebal yang berisi uang jutaan rupiah dan beberapa kartu kredit juga kartu ATM, yang pasti bukan ATM bank plecit. Di depan rumahku yang besar dan megah terdapat taman bermain yang sangat luas. Bahkan luasnya melebihi lapangan sepak bola di stadion. Kurebahkan tubuhku di atas kasur pegas dengan selimut yang tebal seperti handuk. Kemudian kusuruh beberapa orang pembantu untuk sekedar memijit-mijit badanku yang sedikit capek. Karena kerjaku seharian hanya duduk-duduk di kursi DPR. Tetapi bukan nasib rakyat yang aku perjuangkan di kursi itu. Melainkan nasib keluarga dan nasib partai yang telah mengusungku untuk menduduki kursi jabatan anggota DPR. Persetan dengan rakyat kecil, yang penting nasibku tidak seperti mereka.
***

            Matahari terlihat sudah mulai condong ke barat. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 3 sore. Kupandangi seluruh sudut rumahku, ternyata masih sama, yaitu rumah kecil yang terbuat dari tembok yang masih kasar. Kurogoh kantong celanaku dan kubuka dompetku, ternyata masih sama yaitu dompet kulit yang berisi beberapa lembar uang ribuan dan KTP. Kupandangi juga halaman rumahku, ternyata masih sama yaitu halaman kecil yang banyak ditumbuhi rumput liar serta beberapa bunga yang tak wangi baunya. Kemudian kulihat Sholeh yang sudah duduk di depan TV dengan santainya.

         “Lho, sudah pulang tho Le?”, tanyaku pada Sholeh.
         “Sudah dari tadi Pak”, jawabnya.
         “Kapan?”, tanyaku lagi.
         “Tadi, ketika Bapak masih tidur-tiduran di kursi depan”, jawabnya.

Kemudian aku bergegas menuju meja makan untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan. Kubuka perlahan-lahan tutup makanannya. Tetapi yang kulihat hanya nasi dan sepiring tempe. Ini masih mendingan daripada nasi tanpa lauk. Kuambil sepiring nasi dan lauk secukupnya. Lalu kumasukkan nasi itu suap demi suap ke dalam mulutku. Kupaksakan nasi itu masuk ke dalam kerongkonganku sedikit demi sedikit.

            “Ini aku bawakan lauk yang enak Mas”, suara isteriku dari belakang yang sempat mengagetkanku. Ditaruhnya sebungkus lauk yang terlihat agak berbeda dari biasanya.
            “Weleh-weleh... dodo menthok? Dari mana ini?”, tanyaku sedikit tak percaya.
            “Ya beli dong Mas, masak dapat di jalan”, jawabnya sedikit bercanda.
            “Aku tahu, maksudku uang dari mana?”, tanyaku.
            “Hari ini daganganku habis semua. Ya sekali-kali makan yang agak senak dikit”, katanya.
            Mbok ya tiap hari makan enak kayak gini”, kataku.
            “He Mas, wong kamu saja nggak kerja kok, minta makan enak terus”, kata isteriku agak sewot. Tapi aku cuma diam. Aku memang rumangsa kalau aku tidak bisa memberikan apa-apa pada keluargaku.
***

            Kelihatannya matahari sudah mulai tenggelam. Terdengar suara adzan bersahut-sahutan dari masjid di sekitar rumahku, seakan-akan tak mau kalah untuk mengagung-agungkan nama Gusti Maha Agung. Berbeda dengan aku yang tak pernah menyebut nama-Nya. Jika sedang tertimpa musibah, bukan istighfar yang aku ucapkan. Tapi malah mingsuh-mingsuh nggak karuan. Mungkin sudah saatnya aku mengakhiri kekhafiranku, mengakhiri kedzalimanku dan mulai bersujud pada-Nya. Ya, mungkin inilah saatnya untukku bertobat.

            Kutarik pancuran genthong di belakang rumah. Kubasuh mukaku dan seluruh anggota badanku. Kali ini aku benar-benar basah oleh air wudhu. Tak kusangka, rasanya sungguh segar, bahkan mengalahkan segarnya udara di Tawangmangu. Lalu kuambil sarung yang terlipat rapi di dalam almari. Sarung itu berada di tumpukan paling bawah dan beraroma khas oyot setu. Kuambil juga sebuah sajadah di kamar Sholeh. Mulailah kukerjakan sholat untuk menyembah Gusti Maha Agung yaitu Gusti Allah. Setelah selesai Sholat hati ini terasa tentrem dan ayem
***

            “Kulo nuwun”, terdengar suara dari depan rumah.
            Monggo”, kujawab dari dalam rumah.
            “Oalah, Pak RT tho! Silahkan masuk Pak. Tumben Pak, ada perlu apa Pak?”, tanyaku penasaran.
Setelah Pak RT menaruh pantatnya di kursi bambu, ia langsung menceritakan maksud kedatangannya. Setelah ia menceritakannya secara gamblang, betapa kaget sekali hati ini. Kaget bercampur senang dan bahagia. Ternyata Pak RT menawariku sebuah pekerjaan, yaitu bekerja di sebuah restorant miliknya. Restorant itu sangat mewah dan sangat terkenal di ibukota. Selain dikenal sebagai orang kaya, Pak RT juga dikenal sebagai orang yang sangat baik dan nyah-nyoh. Beribu-ribu terima kasih aku ucapkan pada Pak RT. Eh bukan, berjuta-juta terima kasih. Ah, pokoknya banyak sekali hingga aku tak bisa menghitungnya.

            Setelah Pak RT pamit pulang, kuceritakan maksud kedatangan Pak RT tadi pada Sri dan Sholeh. Betapa senang mereka mendengarnya. Dengan pekerjaan itu kuharap aku bisa merubah hidupku sedikit demi sedikit. Tentunya kehidupan yang lebih baik daripada sekarang. Akan kubayar semua hutangku pada mas Tedi. Kemudian akan kutabung sebagian gajiku untuk membeli kebutuhan rumah tanggaku. Mungkin dua atau tiga tahun kedepan aku bisa membeli sepeda motor. Atau mungkin, setelah lulus SMA Sholeh akan aku kuliahkan di universitas negeri, kalau perlu sampai S2. Yang penting hidupku nanti sudah tidak sesulit sekarang ini. Semoga saja khayalanku ini akan menjadi sebuah kenyataan.
***

                                                                                                            Solo, 04-03-07

Penulis: Arifin Putra Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar