Minggu, 22 Maret 2015

KOLEKSI CERPEN "PUISI BUAT EMAK"

Selain hobby editing foto pake Photoshop, ane dulu juga hobi bikin karya sastra Gan. Karena gini-gini ane juga pernah mengenyam pendidikan di bangku kuliah lho.. Buat kalian yang domisili di Solo dan sekitarnya pasti udah ga asing lagi sama yang namanya Universitas Sebelas Maret atau yang biasa disingkat dengan nama UNS Solo.

Nah, dulu ane pernah kuliah di sana Gan, ambil jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Seni Rupa. Nomor induk mahasiswa ane C0204010.. Jiiiaaahahahaha masih inget aja nih... Ngomong-ngomong soal karya sastra nih Gan.. Dulu ane aktif banget di dunia kesusastraan, sampai ane bikin komunitas yang namanya Komunitas Sampah Kata. Dari komunitas inilah ane aktif bikin karya sastra seperti Cerpen dan Puisi..

Karya ane yang pernah dirilis jadi buku adalah "Antologi Cerpen: Joglo 3" yang diterbitkan oleh Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) tahun 2007, dan beberapa cerpen yang dimuat di media lokal di Kota Solo, serta beberapa puisi yang dimuat di majalah dan buletin kampus..

Ga usah banyak cing-cong ya Gan, jari ane dah pegel. Langsung aja nih ane mau pamer karya cerpen ane yang berjudul "PUISI BUAT EMAK" (Antologi Cerpen: Joglo 3)
Cekibrott.....

PUISI BUAT EMAK

Ya Tuhan, berilah hambamu ini inspirasi untuk menulis puisi. Mungkin, saat ini emak sudah menunggu datangnnya suara sepeda motor Pak Pos yang selalu setia mengantarkan sepucuk demi sepucuk  surat yang aku kirimkan untuk emak yang berada jauh di sana. Bukanlah sebuah kabar yang tertulis dalam surat-surat itu. Bukan kiriman uang, bukan juga sebuah kata basa-basi seorang anak pada emaknya. Melainkan hanyalah sebuah puisi yang tertulis dalam surat-suratku itu. Aku sangat tahu, bahwa emak tidak ingin mengetahui kabar tentang aku. Emak juga tidak ingin tahu pekerjaan apa yang akan aku geluti nanti. Yang diinginkan emak hanyalah satu. Emak hanya ingin bisa membaca puisi-puisi yang aku ciptakan dari sebuah untaian kerinduanku padanya.
Pernah pada suatu saat, ketika aku sedang merangkai kata demi kata di bawah pohon asem yang begitu rindang di depan rumahku. Seorang perempuan tua yang sudah lebih dari 10 tahun tinggal berdampingan denganku, tiba-tiba menghampiriku dan berkata.
“Le, apa kamu tidak bosan tiap hari bikin surat buat emakmu. Jangan-jangan kamu ini sudah edan tho Le? Sudahlah, lupakan saja emakmu itu”, kata mbok Karti. Namun aku hanya diam saja. Aku tak pernah memperdulikan omongan-omongan tetanggaku tentang sikapku yang dianggapnya aneh. Aku menyadari kalau sikapku ini memang sedikit aneh daripada teman-teman sebayaku. Itulah sebabnya mengapa aku jarang sekali main bersama mereka. Namun, dalam hatiku aku hanya menertawai mereka. Orang menulis puisi kok di olok-olok. Lagian, mereka juga tidak sanggup membuat puisi seperti aku. Selama aku masih ingat Yang Maha Kuasa, berarti aku belum gila. Toh, selama ini aku masih faseh melafalkan namamu Yang Maha Agung. Tanpa berpikir panjang kulanjutkan merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, sehingga menjadi sebuah puisi yang akan menentramkan hati emak.
***
Kelihatannya matahari sudah mengusik ketenanganku. Sinarnya sudah mulai condong ke barat. Sehingga daun-daun pohon asem itu pun sudah tak mampu lagi menaungiku dari sinar matahari yang sebentar lagi akan berubah menjadi senja. Kubuka mataku perlahan-lahan. Satu demi satu mataku terbelalak menatap sosok yang sudah lama aku kenal, seorang laki-laki yang sangat tegar menghadapi cobaan demi cobaan dari Tuhan. Ya, laki-laki itu adalah bapakku. Seorang bapak yang sangat tegar menghadapi pahit dan getirnya dunia. Ibaratnya, api yang membakar pun tak mampu menghanguskan, air yang deras pun tak mampu menghanyutkan, dan angin yang kencang pun tak mampu juga mengombang-ambingkan. Itulah bapakku, seseorang yang sangat aku kagumi. Namun tak pernah sekalipun aku menciptakan puisi untuknya. Mungkin, belum saatnya kata-kata yang kutenun ini kupersembahkan untuk ayah.
Di teras rumah itu ayah sudah menantikanku dan mungkin akan menyambutku dengan sebuah pertanyaan klasik yang selalu aku dengar tiap hari.
“Gimana puisinya? Sudah jadi apa belum? Coba bapak lihat”, kata bapak sambil menyertakan sedikit senyum di bibirnya. Kemudian kuberikan puisi itu padanya, dan bapak pun membacanya bak seorang W.S Rendra yang sedang membacakan syairnya di atas panggung.
Mak, kini anakmu sudah tumbuh besar
Kini anakmu sudah mampu mengeja huruf a sampai z
Tahun kabisat telah aku lalui dua kali semenjak Emak pergi dari rumah
Pohon mangga yang dulu kau tanam telah berbuah beberapa kali
Ingin sekali aku melihat wajahmu lagi Mak
Namun apa daya..........................
Jarak dan waktu telah memisahkan kita
Mungkin air mata ini takkan sanggup mengobati kerinduanku padamu Mak
Hanya puisi ini yang dapat aku persembahkan
Aku juga tidak akan berharap Emak membalasnya
Tapi aku akan sangat senang, bila puisiku ini bisa tiba di tempat Emak
Tanpa ada satu kata pun yang tercecer dalam perjalanan
Maafkan aku Mak, bila puisiku ini belum bisa menenangkan hati emak
Itulah sepenggal puisiku untuk Emak. Kata bapak, puisiku ini lebih mirip syairnya Kahlil Gibran daripada puisi miliknya Chairil Anwar atau Sapardi Djoko Damono. Tapi, lagi-lagi aku tak terlalu memperdulikannya. Yang penting puisi ini kubuat dari lubuk hati yang paling dalam. Dengan segera kulipat da kumasukkan selembar puisi itu ke dalam sepucuk amplop berwarna putih. Lalu kukayuh sepedaku untuk mengantarkan puisi ini ke Kantor Pos desaku. emak pasti akan senang bila menerimanya.
***
Matahari perlahan-lahan mulai tenggelam dalam pelukan sang awan yang terlihat agak hitam. Rintik air pun mulai berjatuhan dari langit satu per satu. Kilatan cahaya yang diiringi suara gemuruh menghiasi cakrawala yang mulai meninggalkan sang senja. Belum juga kelelawar-kelelawar dan burung-burung seriti puas beterbangan, namun hujan telah membasahi langit dan menghujamkan airnya ke bumi. Sebentar kemudian para penghuni taman langit itupun mengurungkan niatnya untuk bermain-main di atas sana. Andaikan saja burung-burung itu bisa membaca huruf alphabet. Pasti akan kutulis juga puisi untuknya.
Tak berapa lama kemudian aku masuk ke dalam rumah dan kututup pintu serta jendela rumah rapat-rapat. Agar angin tidak menerpa tubuh kami yang sama-sama kurus ini. Seperti biasa, di ruang tamu, bapak sudah menungguku untuk bercerita banyak tentang emak saat masih bersama kami. Kusandarkan badanku di atas kursi sofa yang sudah terlihat sangat usang. Mulailah bapak bercerita layaknya seorang bapak yang mendongengkan anaknya sebelum tidur. Tapi betul juga, dongeng bapak lama-lama membuat kelopak mataku jadi merekat. Apalagi dinginnya angin malam semakin menambah berjuta-juta ton pemberat pada kelopak mataku. Sambil memandangi foto emak yang tergantung di tembok ruang tamu, akhirnya aku tertidur juga.
***
Sang mentari sudah muncul lagi dan mulai mengintip melalui atap-atap rumah kami. Sarapan pagi juga sudah tersedia di meja makan. Memang, menu sarapannya tidak seperti pada waktu emak masih bersama kami. Itupun kami tidak memasaknya sendiri. Biasanya bapak sering membelinya di warung mbak Siti yang terletak di pojok gang rumah kami. Mbak Siti adalah seorang perawan tua yang dulunya juga teman sekolah emak pada waktu di Sekolah Rakyat. Sering juga mbak Siti menggoda bapak dengan rayuan khas seorang wanita.
            “Mas, sudah 8 tahun lebih ditinggl isteri kok tidak pengen nikah lagi sih? Apa masih kuat nahan?”, celoteh mbak Siti. Namun bapak tidak terlalu serius menanggapinya. Aku tak tahu apa maksud mbak Siti bertanya seperti itu pada bapak. Karena aku pun juga tidak terlalu memperdulikannya, maka pertanyaan itu kubuang jauh-jauh dari pikiranku. Toh, kalau aku pikir lama-lama juga tak akan jadi puisi.
            Tak lama kemudian, nasi dan lauk pauk yang ada di meja makan itu pun telah habis kumakan. Kemudian terdengar suara bapak dari depan rumah.
            “Le, bapak berangkat kerja dulu ya. Jaga rumah baik-baik. Kalau nanti mau makan siang, uangnya ada di dalam almari pakaian bapak”, kata bapak berpamitan padaku.
            “Iya Pak! Hati-hati ya Pak”, jawabku dengan singkat.
Tak berapa lama, suara motor bebek bapak perlahan-lahan mulai meninggalkan gang rumah kami. Tak seperti biasanya. Bapak selalu memberikan langsung uang saku itu padaku. Namun, kali ini bapak menaruhnya di dalam almari pakaiannya. Mungkin bapak terburu-buru dan tidak sempat memberikannya langsung padaku. Sama saja, yang penting uang itu bisa untuk makan siang.
Segera kuhampiri pohon asem itu lagi sebagai tempat mencari inspirasi untuk menulis sebuah puisi hanya untuk emak. Selang beberapa menit di tengah aku menulis puisi, datang lagi mbok Karti. Tak lupa juga ia memberikan komentarnya padaku.
“Walah... walah Le...Le. Apa kamu tidak capek tho? Tiap hari kerjaannya cuma nulis saja. Apa tidak ada kerjaan lain selain nulis sambil merenung di bawah pohon?”, kata mbok Karti. Lagi-lagi, akupun tidak terlalu memperdulikan omongannya. Mungkin telingaku sudah kebal ocehan. Apalagi cuma ocehannya mbok Karti yang selalu masuk dari telinga kanan dan kemudian keluar dari telinga kiriku.
Kemudian kulanjutkan merangkai kata demi kata, kalimat demi kalimat, sehingga menjadi sebuah puisi yang akan menentramkan hati emak.
***
Matahari terlihat sudah mulai meninggi, hingga bayang-bayang tubuhku tepat berada di tengah-tengah telapak kakiku. Waktu tepat menunjukkan pukul 12 siang, waktunya untuk makan siang. Lalu kuhampiri dan kuambil uang saku yang diletakkan bapak di dalam almari pakaiannya. Di dalam almari itu terdapat sekat yang membuatnya menjadi dua bagian kotak. kotak yang pertama berisi tumpukan pakaian bapak. Sedangkan kotak yang kedua berisi tumpukan pakaian emak. Kulihat tumpukan pakaian emak yang dulu pernah dipakainya saat masih menyusuiku hingga aku bisa merangkak sambil berpegangan pada baju emak bagian bawah. Waktu itu emak sangat gembira sekali melihat aku bisa berjalan walau masih sempoyongan.
Masih kuingat juga saat emak melantunkan tembang dolanan dengan merdu sambil meninabobokkan aku dalam pangkuannya.

Soyang-soyang mbatikka pelangi, njur kasmaran
Yah-yah bu, yah-yah po
Putra ingsun adipati kulonuwun
Nduk cenger, nduk cenger
Anak kulo badhe ngenger

Tak terasa air mata telah menetes dari kedua pelupuk mataku. Bagiku, syair lagu itu adalah sebuah puisi pertama kali yang aku dengar dari mulut emak. Maka aku harus menciptakan beribu-ribu puisi sebagai balas budiku pada emak. Kemudian kuurungkan niatku untuk membeli makan siang. Segera kuambil puisi yang telah selesai kubuat tadi. Kulipat dan kumasukkan ke dalam amplop berwarna putih. Kali ini, aku tidak akan menitipkan puisi ini pada Kantor Pos. Melainkan aku sendiri yang akan mengantarkannya ke tempat emak. Mak... tunggu mak, tunggulah anakmu ini mak...
Kukayuh dengan cepat sepedaku. Jarak rumah kami dengan tempat emak memang tidak begitu jauh. Hanya beberapa kilometer saja. Dengan hitungan beberapa puluh menit, aku telah sampai di depan tempat emak. Kusandarkan sepedaku di bawah pohon kamboja yang rindang bunganya. Kulangkahkan kakiku perlahan-lahan menuju pagar besi yang telah mengelupas catnya, dan di beberapa bagian terlihat berkarat. Kuberanikan diri untuk membuka pagar itu dan mengucapkan sebuah salam sebagai tanda bahwa anakmu telah datang. Hati ini semakin berdebar-debar, air mata sudah tak terbendung oleh muara sungai.
Tepat di atas tempat peristirahatan emak, kutaruh sepucuk puisi yang baru saja kubuat itu. Rumput-rumput liar tumbuh merata di atas tanah makam emak. Kemudian kubersihkan makam emak dari rumput-rumput liar serta daun-daun kamboja yang telah mengering. Kulihat beberapa pucuk puisi yang mulai menumpuk di sekitar makam emak dan tersapu oleh angin. Puisi-puisi itu aku buat untuk emak beberapa hari yang lalu melalui Kantor Pos. Kemudian Pak Pos menyerahkannya pada penjaga makam dan kemudian menaruhnya di atas makam emak.
Semoga emak senang dengan puisi-puisi yang telah aku buat dengan susah payah itu...
***
                                                                     Solo, 12-03-‘07

 Penulis: Arifin Putra Solo 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar